Mereka yang Bertawasul (Mutawassilun) (i) Rasulullah juga bertawasul Bertawasul itu ternyata bukanlah semata-mata sebagai ilmu atau amalan yang dikembangkan oleh orang-orang yang berthariqat saja, tetapi Rasulullah SAW sendiri bertawasul, dan semua umat Islam bertawasul di dalam shalatnya (yakni ketika bertasyahud). Kenyataan ini membuktikan bahwa landasan bertawasul tidak hanya menggunakan pijakan hadits Nabi yang perjalanannya sering diragukan keberadaannya (shahih atau tidak). Bahkan kaidah keshahihan menurut jumhur Ulama mulai dipermasalahkan oleh umat Islam sekuler. Kita membaca do'a tasyahud dengan bacaan berikut: "Yaa Allah berikan limpahan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah berikan itu semua kepada Nabi Ibrahim beserta keluarganya". Dasar bertawasul yang kami kemukakan di sini berdasarkan fakta peribadatan yang selalu kita lakukan sehari-hari. Rasulullah secara pribadi juga mengucapkan lafal yang sama dengan kita, bertawasul dengan maqam pribadi beliau yang telah ditentukan ketinggiannya di sisi Alah SWT. Satu tela'ah lagi jika kita mau merenung, yaitu tentang keberadaan Nabi Ibrahim dalam kalimat tasyahud tersebut. Beliau As yang memiliki rentang waktu ratusan abad sebelum Nabi kita SAW masih tetap dijadikan sosok utama di antara para Nabi/Rasul lainnya. Hal ini dikarenakan dari sulbi beliau melahirkan generasi para Nabi setelahnya yang sambung menyambung hingga kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalam pribadi Nabi Ibrahim As itu ternyata memiliki ketauladanan bagi orang-orang sesudahnya berkenaan masalah ketauhidan, yakni teguh dalam mempertahankan keyakinannya. Demikian pula tersebut dalam suatu do'a Nubuwwah-nya beliau SAW pernah bersabda: "Yaa Allah, sesungguhnya aku bermohon kepada Engkau dengan haq orang-orang yang bermohon kepada Engkau".[1] (ii) Para Nabi terdahulu melakukan tawasul Ketika anak-anak Ya'qub As. merasa bersalah (karena berusaha mencelakakan Yusuf As.), mereka semua menghadap orang tuanya, dan memohon kepada Ya'qub As. "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)". Ya'qub berkata, "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dialah Yang Pengampun lagi Penyayang (kepada seluruh hamba-Nya)". (QS. Yusuf[12]: 96-98). Inilah salah satu bukti Tawasul yang dilakukan pada masa dahulu. (iii) Para sahabat bertawasul Diriwayatkan oleh Utsman bin Hunaif: ‘Seorang lelaki tuna netra datang kepada Rasulullah dan berkata: ‘Mohonkanlah kepada Allah agar menyembuhkanku'. Nabi SAW bersabda: ‘Jika engkau menghendaki aku akan mendo'akanmu, tapi jika engkau mau bersabar, maka itu lebih baik bagimu'. Orang itu berkata: ‘Do'akanlah!' Nabi kemudian memerintahkannya berwudhu dengan baik lalu shalat 2 raka'at, dan membaca do'a: ‘Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantara NabiMu, Muhammad, Nabi Rahmat. Wahai Muhammad, dengan perantaraanmu aku memohon kepada Tuhan Allah agar mengabulkan hajatku. Ya Allah, terimalah syafa'atnya untukku....'[2] (iv) Orang-orang Yahudi pernah bertawasul dengan Nabi SAW Allah Ta'ala berfirman: "Dan setelah datang kepada mereka Al-Quran dari Allah yang membenarkanapa yang ada pada mereka[3], padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu". (Q.S. Al-Baqarah[3]: 89) Berkata Ibnu ‘Abbas Ra.: Orang-orang Yahudi Khaibar pada masa dahulu memerangi suku Ghathafan, tetapi setiap bertempur, Yahudi menderita kekalahan. Merekapun berlindung dan memanjatkan do'a: "Yaa Tuhanku, sesungguhnya kami memohon dengan haq (kebenaran) Nabi yang Ummy, yang dijanjikan kepada kami akan datang kepada kami di akhir zaman, agar Engkau menolong kami mengalahkan mereka (musuh kami)". Setiap bertempur mereka berdo'a seperti ini sehingga akhirnya berhasil mengalahkan suku Gathafan. Namun setelah Nabi Muhammad SAW diutus kepada mereka, mereka (orang-orang Yahudi itu) mengingkarinya. Maka turunlah ayat tersebut di atas yang menyebabkan laknat Allah turun atas mereka (orang-orang Yahudi).[4] Dalam riwayat lainnya diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Said atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang Yahudi Madinah biasa memohon kemenangan terhadap orang-orang Aus dan Khazraj atas nama kedatangan Rasulullah SAW sebelum kebangkitannya. Maka setelah Allah membangkitkannya dari golongan Arab, mereka kafir kepadanya dan membantah apa yang pernah mereka katakan mengenainya. Maka kata Muadz bin Jabal, Bisyr bin Barra, dan Daud bin Salamah kepada mereka: "Hai golongan Yahudi, takutlah kamu kepada Allah dan masuk Islamlah! Bukankah kalian selama ini meminta kedatangan Muhammad untuk membantu kamu terhadap kami, yakni sewaktu kami berada dalam kemusyrikan, kamu katakan bahwa ia akan dibangkitkan bahkan kamu lukiskan sifat-sifatnya!" Jawab Salam bin Misykum: "Ia tidak membawa ciri-ciri[5] yang kami kenal, dan dia bukanlah seperti yang kami sebutkan kepadamu dulu". Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas.[6] (v) Para Ulama yang bertawasul Banyak para Ulama yang mengamalkan tawasul, sehingga tidak mencukupi untuk dibentangkan di dalam tulisan yang terbatas ini. Namun cukup kiranya kami ungkapkan beberapa di antaranya, yaitu: 1. Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi[7], dalam permulaan kitabnya yang bernama Nafahat Syarah Waraqat disebutkan: "Berkata saya Ahmad bin Abdillah al Khatib yang faqir kepada Allah, Tuhan yang memperkenankan do'a, Tuhan yang diharapkan ma'af dan ampunan-Nya, dengan kebesaran Rasul-Nya yang dikasihi". 2. Syekh Sayid Bakri Syatha (w. 1310 H), di akhir kitabnya I'anatut Thalibin[8] menyebutkan: "Saya tunduk merendah diri kepada Allah dan saya memohon karunia-Nya, bertawasul dengan Nabi-Nya yang mulia, supaya karangan ini berfaedah sebagaimana faedah yang telah dicapai oleh asalnya ...... " 3. Syekh Nawawi al Bantani[9], menyebutkan di akhir kitabnya Tijanud Darari: "Dan kepada Allah saya bermohon dan dengan Nabi-Nya saya bertawasul, supaya dijadikan-Nya kitab ini ikhlas bagi wajah-Nya yang mulia". 4. Dll. Pengarang kitab Khulashatul Wafa mengatakan bahwa: "Bahwasanya tawasul dan tasyaffu' (meminta syafa'at) dengan Nabi Muhammad dan dengan kebesaran-nya, dan dengan barakahnya adalah sunnah Rasul-rasul dan amal Ulama-ulama Salaf yang saleh".[10] (Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR'ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia') [1] 100 masalah Agama, KHM. Syafi'i Hadzami, Menara Kudus, Jilid 2, hal. 42. Hadits yang senada ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah, Targhib wat Tarhib (Jilid 1, hal 179), Shahih Ibnu Khuzaimah, Ibnu Sunni, Abu Nu'aim. Dinilai Hasan oleh Al 'Iraqi dan Ibnu Hajar. Juga tersebut dalam kitab Mughni ‘an Hamalil Ashfar, Ihya Juz I, hal. 223. [2] Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam An Nasa'i, Baihaqi, Thabrani, Turmudzi dan Hakim, dan lainnya dengan lafazh berbeda. [3] Maksudnya: kedatangan Nabi Muhammad SAW yang tersebut dalam Taurat di mana diterangkan sifat-sifatnya. [4] Tafsir Al-Qurthubi, Juz II, hal. 26-27. Diriwayatkan oleh Hakim dalam Al-Mustadrak-nya, dan Baihaqi dalam ad Dala-il. (lihat Lubabun Nuqul fii Asbaabin Nuzul, Imam Jalaluddin as Suyuthi) [5] Diriwayatkan Ibnu Hatim dari jalur Ikrimah, dari Ibnu Abbas, katanya: Pendeta-pendeta Yahudi menemukan sifat-sifat Nabi SAW tercantum dalam Taurat sebagai berikut: "Biji matanya hitam, tinggi badannya sedang, rambutnya keriting dan wajahnya rupawan". Karena dengki dan iri hati, gambaran ini mereka hapus lalu mereka ganti dengan: "Kami temui tanda-tandanya sebagai seorang yang tinggi, biru matanya, dan berambut lurus". (Lubabun Nuqul fii Asbaabin Nuzul, Imam Jalaluddin as Suyuthi) [6] Lubabun Nuqul fii Asbaabin Nuzul, Imam Jalaluddin as Suyuthi. [7] Salah seorang Ulama kelahiran Indonesia yang menjadi Imam di Masjid al Haram di Mekkah, dan menjabat sebagai Mufti Madzhab Syafi'i, wafat th. 1916 M. [8] Syarah kitab Fathul Mu'in. Sebuah kitab Fikih yang dipakai hampir di seluruh pesantren dan sekolah agama di seluruh Indonesia. [9] Seorang Ulama berasal dari Banten, yang bermukim di Mekkah sekitar tahun 1297 H. Pernah Imam masjid al Haram Mekkah ini diberi gelar Sayyidul Ulama al Hijaz. Beliau merupakan Ulama yang produktif dalam mengarang kitab-kitab, di antaranya banyak yang dijadikan sebagai pegangan kitab kuning di pesantren-pesantren, seperti: Tijanud Darari (Syarah kitab Tauhid Ibrahim al Bajuri), Nihayatuz Zain (fikih Syafi'i), Syarah al Ajrumiah, Fathul Majid, Barzanji, Lubabul Bayan, Tafsir Munir, ‘Uqudul Lujain, dll. [10] 40 Masalah Agama, Buku I, Sirajuddin Abbas. Pengertian Tawasul Tawasul[1] berarti perantara atau penghubung, sebagaimana Allah memiliki Ruhul Amiin, Jibril AS, untuk menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW. Demikianlah pencapaian makrifat kepada Allah, yakni terungkapnya hijab dengan Allah melalui rantai-rantai wasilah, yakni perantara yang sampai kepada Rasulullah. Demikian karena si hamba dhaif lagi faqir, maka perlulah bertawassul kepada Balatentara Allah yang suci agar hajatnya mudah sampai hadhirat Allah Yang Agung lagi Suci daripada gambaran hamba yang hina. Perintah Allah Ta'ala dalam Al-Quran: "Wahai orang-orang yang beriman, taqwalah engkau kepada Allah dan carilah wasilah sebagai jalan yang mendekatkan dirimu kepadaNya dan bermujahadahlah (berjuanglah) pada jalanNya, supaya kamu mendapatkan keberuntungan".[2] (QS. Al-Maidah[5]:35). DR. Muhammad Al-Maliki Al-Hasani mengatakan bahwa Al-Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah sebagai penyebab untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan penyambung untuk dipenuhNya segala kebutuhan. Untuk itu, demi menjayakan tawasul, yang ditawasuli atau yang menjadi perantara itu mesti mempunyai kedudukan dan kehormatan di sisi Allah SWT sebagai yang dituju dengan tawasul. Orang yang bertawasul dengan perantara seseorang berkeyakinan bahwa orang tersebut adalah orang saleh atau Wali Allah atau orang yang memiliki keutamaan menurut prasangka baik terhadapnya. Orang-orang tersebut dianggapnya sebagai orang yang dekat kepada Allah dan dicintaiNya. Sebab orang yang menanamkan rasa cinta dan keyakinan yang erat pada kalbunya akan dibalas karenanya. Allah SWT berfirman: "..... Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.." (QS. Al-Maidah[5]:54). Jadi orang yang bertawasul menurut hakikatnya bertawasul kepada Allah. Seakan-akan orang yang bertawasul kepada seorang Awliya itu berkata, "Wahai Tuhan, sesungguhnya aku mencintai si Fulan. Aku berkeyakinan bahwa ia mencintai-Mu. Ia adalah orang yang suka beribadah secara ikhlas untuk berbakti kepada-Mu. Saya juga berkeyakinan bahwa Engkau mencintainya dan meridhainya. Maka aku bertawasul - membuat perantara - untuk menuju kepada-Mu dengan perantaraan kecintaanku kepadanya dan lewat keyakinanku mengenai dirinya, hendaklah Engkau mengabulkan permohonanku, dan ...." Tetapi kebanyakan orang tidak mampu merinci keyakinan mereka mengenai yang ditawasuli - yang menjadi perantara - dengan keyakinan bahwa Allah SWT Yang Mengetahui - yang mengetahui segala ada di langit dan bumi serta mengetahui kedipan mata dan apa yang tersembunyi di dada - itu lebih jeli dan lebih mengetahui keyakinan orang yang bertawasul terhadap yang ditawasuli. Inilah juga yang mendasari tawasul dengan rabithah, yang hanya membayangkan wajah seorang Awliya (Mursyid) akan mendekatkan kalbu (dirinya) kepada Allah SWT, dan yang berabithah itu tidak merinci apa-apa yang terbetik dalam dadanya. Hal tersebut amat mujarab dan banyak terbukti, telah dilakukan oleh banyak kalangan Ahli Tasawuf dan Hakikat. Kata-kata Al-Wasilah (perantara) yang dimuat ayat Al-Quran itu bersifat umum. Dengan demikian, ia mencakup tawasul dengan zat atau pribadi yang mulia dari kalangan para Nabi dan orang-orang saleh, baik ketika mereka masih hidup maupun setelah wafatnya; juga mencakup tawasul kepada Allah dengan perantaraan amal-amal nyata yang baik yang diperintahkan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Bahkan, amal perbuatan yang telah lalu dapat juga dijadikan sebagai wasilah atau perantara dalam bertawasul. DR. Muhammad Al-Maliki Al-Hasani menjelaskan beberapa makna bertawasul: 1. Tawasul termasuk salah satu cara berdo'a dan salah satu pintu untuk menghadap kepada Allah SWT. Jadi, yang menjadi sasaran atau tujuan asli yang sebenarnya - dalam bertawasul - adalah Allah SWT. Sedangkan yang ditawasuli (al-mutawassal bih) hanya sekedar perantara (wasithah dan wasilah) untuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian, siapa yang berkeyakinan selain demikian, sungguh ia telah menyekutukan Allah. 2. Sesungguhnya yang bertawasul itu tidak bertawasul dengan (menggunakan) perantara (al-mutawassal bih), kecuali karena ia mencintai perantara itu, seraya berkeyakinan bahwa Allah SWT-pun mencintai perantara tersebut. Jika tidak demikian, ia akan termasuk manusia yang paling jauh dari perantara tersebut, bahkan akan menjadi manusia yang paling benci kepadanya. 3. Jika yang bertawasul berkeyakinan bahwa yang ditawasuli atau yang menjadi perantara (al-mutawassal bih) itu berkuasa memberikan manfaat dan menolak mudharat dengan kekuasaannya sendiri - seperti Allah atau lebih rendah sedikit - maka ia telah menyekutukan Allah SWT. Pada intinya tawasul itu sendiri merupakan wujud birokrasi umat sekarang terhadap umat terdahulu. Karena seandainya tidak ada jasa baik dan ijtihad umat terdahulu, maka tidak akan mungkin ada Iman dan Islam umat di akhir zaman. Inilah bukti komitmen orang yang bertawasul terhadap keberadaan mereka, sebagai realisasi perilaku orang-orang yang bermoral/berakhlak mulia. Begitulah para ahli Thariqat, bertawasul kepada guru-gurunya hingga kepada Rasulullah SAW, yang menandakan keabsahan birokrasi Ilahiyah. Inilah kemudian yang dapat menjadikan layaknya mandat seseorang dalam memangku sebuah kepemimpinan semacam thariqat Rasul. (Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR'ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia') [1] Pengertian Tawasul secara perkataan: "Bertawasul ia kepadanya dengan suatu wasilah, sama dengan mendekatkan diri ia kepadanya dengan suatu amal". (Lisanul ‘Arab, Juz XIV: 250) [2] Dalam Al-Quran ada 2 tempat yang menyebutkan ‘Wasilah', satu ayat lainnya Surat Al-Isra'[17]: 57): "Mereka mencari perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan". Pembahagian Tawasul Tawasul itu terbagi menjadi tiga tingkatan nilai. Pertama yang dinilai sebagai Tawasul bis Silsilah, yakni bertawasul dengan jalinan yang bersambungan antara orang yang bertawasul dengan Guru-guru talqin dzikir hingga sampai kepada Rasulullah SAW. Tawasul inilah yang shahih dan utama, yang bersifat menyampaikan, karena mempunyai hubungan yang erat antara orang yang bertawasul dengan yang ditawasuli. Yang kedua, dinilai sebagai Tawasul bil Barokah[1]. Yakni bertawasul dengan para Nabi, para Awliya dan Sholihin yang tidak mempunyai hubungan silsilah dzikir dengannya, meskipun jalinan yang ditawasuli itu merupakan orang yang amat dikenal kesalehannya seperti: Khalifah yang empat (Abu Bakar Ra., Umar Ra., Utsman Ra., Ali Ra.), para Imam madzhab, para Mursyid, Awliya, Shalihin, dsb. Bertawasul kepada mereka semua hanyalah sebagai penghormatan, dan kita mengharapkan keberkahan dari kesalehannya. Yang ketiga, dimasukkan dalam kategori Tawasul lil Hadiyah. Yakni bertawasul atau memberikan Fatihah kepada orang-orang yang mempunyai hubungan/hak dengan kita, namun tidak mempunyai hubungan rantai zikir, seperti kedua orang tua, saudara-saudara kita sesama muslim, dsb. Dan kita tidak boleh menggunakan jalinan orang-orang yang masih diragukan kesalehannya, apalagi yang masih mengharapkan ampunan dan syafa'at dari orang-orang yang masih hidup. Secara syari'at kita-lah yang masih hidup yang pantas menolong mereka, bukan mereka yang kita mintakan tolong untuk menyampaikan hajat kita kepada Allah SWT. Alat perantara zikir itu terdiri menjadi 2 bahagian: (pertama) dengan jalinan/tokoh yang telah mendapat mandat kekhalifahan (istikhlaf), dan diakui kesalehannya (dekat kepada Allah), dan (kedua) dengan amal saleh yang telah dilakukannya. Berkenaan dengan masalah ini Berkata Syaikh Ismail Al-Khalidi Rahimahullah: "Dan wasilah (jalan) itu dengan segala macam amal salih. Dan tiadalah diperoleh amal salih itu kecuali dengan ikhlas. Dan tidaklah amal yang salih itu kecuali bersih daripada campuran-campuran kekotoran hati. Dan bagi kami telah berhasil dengan berbagai pengalaman-pengalaman bahwa sesungguhnya jika kami menyibukkan dengan Rabithah, maka hilanglah campuran-campuran lalai hati daripada amal-amal kami". Jadi amal yang lalai itu hampa dan dengan wasilah maka hilanglah lalai itu. Sebab hilangnya lalai itu ialah Hudhurnya hati. Dan semulia-mulia & seutama-utama wasilah adalah dengan Rabithah. Contoh bertawasul dengan amal adalah sebagaimana dituturkan oleh Rasulullah SAW kepada kita mengenai kisah 3 orang yang terhimpit di dalam gua. Hadits itu adalah sebagai berikut: Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA. Berkata: "Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Terjadi pada masa dahulu sebelum kalian, ada 3 orang berjalan-jalan hingga terpaksa bermalam di dalam gua. Tiba-tiba ketika mereka sedang berada dalam gua itu, jatuh sebuah batu besar dari atas bukit dan menutupi pintu gua itu, hingga mereka tidak dapat keluar. Maka berkatalah mereka: ‘Sungguh tiada suatu yang dapat menyelamatkan kita dari bahaya ini, kecuali jika bertawasul kepada Allah dengan amal-amal shalih yang pernah kamu lakukan dahulu kala'. Maka berkata seorang di antara mereka: ‘Ya Allah! Dahulu saya mempunyai ayah dan ibu, dan saya biasa tidak memberi minuman susu pada seorangpun sebelum keduanya, yakni ayah ibu saya meminumnya terlebih dahulu, baik pada keluarga atau hamba sahaya. Maka pada suatu hari agak kejauhan bagiku menggembala ternak, hingga tidak kembali pada keduanya, kecuali sesudah malam dan ayah bundaku telah tertidur. Maka saya terus memerah susu untuk keduanya, dan saya pun segan untuk membangunkan keduanya, dan saya pun tidak akan memberikan minuman itu kepada siapa pun kecuali ayah bunda saya. Maka saya tunggu keduanya hingga terbit fajar, maka bangunlah keduanya dan minum daripada susu yang saya perahkan itu. Padahal semalam itu juga anak-anakku sedang menangis minta susu itu, di dekat kakiku. Ya Allah! Jika saya berbuat itu benar-benar karena mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah keadaan kami ini'. Maka menyisih sedikit batu itu, hanya saja mereka belum dapat keluar daripadanya. Orang yang kedua berdo'a: ‘Ya Allah! Dahulu saya pernah terikat cinta kasih pada anak gadis pamanku, maka karena sangat cinta kasihku, saya selalu merayu dan ingin berzina padanya, tetapi ia selalu menolak hingga terjadi pada suatu saat ia menderita kelaparan dan datang minta bantuan kepadaku, maka saya berikan padanya wang 120 dinar tetapi dengan janji bahwa ia akan menyerahkan dirinya kepadaku pada malam harinya. Kemudian ketika saya telah berada di antara kedua kakinya, tiba-tiba ia berkata: ‘Takutlah kepada Allah dan jangan engkau pecahkan tutup kecuali dengan cara yang halal. Maka saya segera bangun daripadanya padahal saya masih tetap menginginkannya, dan saya tinggalkan dinar emas yang telah saya berikan kepadanya itu. Ya Allah! Bila saya berbuat itu semata-mata karena mengharap KeredhaanMu, maka hindarkanlah kami dari kemalangan ini. Maka bergeraklah batu itu menyisih sedikit, tetapi mereka belum juga dapat keluar daripadanya'. Yang ketiga berdo'a: ‘Ya Allah! Saya dahulu adalah seorang majikan yang mempunyai banyak buruh pegawai, dan pada suatu hari ketika saya membayar upah buruh-buruh itu, tiba-tiba ada seorang dari mereka yang tidak sabar menunggu, segeralah ia pergi meninggalkan upah dan terus pulang ke rumahnya tidak kembali. Maka saya pergunakan upah itu hingga bertambah dan berbuah hingga menjadi suatu kekayaan. Kemudian setelah lama datanglah buruh itu, berkata: ‘Hai Abdullah! Berilah kepadaku upahku yang dahulu itu!' Jawabku: ‘Semua kekayaan yang di depanmu itu merupakan upahmu, berupa unta, lembu, dan kambing serta budak penggembalanya'. Berkata orang itu: ‘Hai Abdullah! Kau jangan mengejekku!' Jawabku: ‘Aku tidak mengejekmu'. Maka diambilnya semua yang saya sebut itu dan tiada meninggalkan satupun daripadanya. Ya Allah! Jika saya berbuat itu karena mengharapkan KeridhaanMu, maka hindarkanlah kami dari kesempitan ini'. Tiba-tiba menyisihlah batu itu hingga keluar mereka semua dengan selamat'.[2] Sedangkan contoh bertawasul dengan jalinan adalah sebagaimana diriwayatkan Imam Thabrani dalam Mu'jamus Shagir, Al-Hakim Naisaburi dalam Mustadrak ash Shihhah, Abu Nu'aim dan Baihaqi dalam Dalail An-Nubuwwah, Ibnu ‘Asakir Syami dalam Tarikh-nya, dan Imam Hafizh As-Suyuthi dalam Ad-Durrul Mantsur serta dalam Ruhul Ma'ani dengan sanad dari S. Umar bin Khatthab, menukil bahwa Nabi SAW bersabda: "Ketika Nabiyyallah Adam melakukan dosa, ia menengadahkan kepalanya ke langit dan berkata: ‘Wahai Tuhan, aku memohon kepadaMu dengan Haq Muhammad agar Engkau mengampuniku'. Lalu Allah mewahyukan kepadanya: ‘Siapakah Muhammad?' Nabiyyallah Adam menjawab: ‘Ketika Engkau menciptakanku, aku mengangkat kepala ke arah ‘ArasyMu, dan lalu aku melihat, di sana tertulis: Laa Ilaaha Illallaaah Muhammadur Rosulullaah. Akupun berkata kepada diriku, bahwa tiada seorangpun yang lebih agung daripada orang yang namanya telah Engkau tuliskan di samping NamaMu'. Ketika itu Allah mewahyukan kepadanya: ‘Dialah Nabi yang terakhir daripada keturunanmu, dan jika tidak karena dia, niscaya Aku tak akan menciptakanmu'. Dalam suatu hadits yang ditakhrijkan Ibnu Majah dan An-Nisa‘i dalam Sunan-nya, demikian pula At-Tirmidzi (beliau memberikan nilai shahih atasnya), disebutkan: "Bahwa seorang buta pernah datang kepada Nabi SAW seraya berkata: ‘Yaa Rasulullah, sesungguhnya aku mendapat musibah pada mataku, maka berdo'alah engkau untukku kepada Allah'. Maka sabda Nabi SAW kepadanya: ‘Berwudhulah engkau dan shalatlah 2 raka'at, lalu katakan demikian: Yaa Allah, sesungguhnya aku bermohon dan menghadap kepada Engkau, dengan Nabi-Mu Muhammad. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menuntut syafa'at engkau dalam pengembalian penglihatanku ini. Yaa Allah, perkenankanlah syafa'at Nabi ini kepadaku. Dan sabdanya: ‘Maka jika ada bagimu sesuatu keperluan, katakanlah seperti itu!' " Demikianlah pembagian tawasul yang penting untuk kita pahami dengan sebenarnya. Selanjutnya cara bertawasul yang benar, harus diisi dengan hajat/keperluan yang benar pula. Sebab di masa sekarang ini, banyak orang yang menyalahgunakan tawasul untuk keperluan yang jauh dari Ridha Allah SWT, tidak sebagaimana para pendahulu kita yang menggunakan tawasul semata-mata untuk ibadah, atau mendekatkan diri (ber-taqarub) kepada Allah semata. Di antaranya adalah untuk mendapatkan ilmu-ilmu tertentu seperti kebal, dll., dijadikan nadzar untuk maksud-maksud duniawi, dsb. Kenyataan inilah yang membuktikan pentingnya pembimbing dzikir/tawasul bagi orang yang sedang menekuni jalan ini agar tetap lurus tawasul-nya awal maupun akhir. Wallahu A'lam. (Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR'ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia')
| |
0 Tanggapan:
Posting Komentar