Tampilkan 1 - 30 dari 31 kiriman dari 10 orang.
Kiriman 1
1 balasan
Muhammad Arif Darmawan (Universitas Gadjah Mada) menulispada 14 Mei 2009 jam 16:16
By
Kalammunyeng
Apabila,
Ma’rifat adalah penyaksian akan Allah,
Hakekat adalah ikhlas, syukur dan sabar sebelum penyaksian Allah,
Tarekat adalah jalan pengosongan sebelum hakekat,
Syari’at adalah dalil kehidupan dalam menghormati eksistensi-eksistensi lain,
Maka,
Syari’at adalah bagaimana mewujudkan penyaksian akan Allah,
Tarekat adalah bagaimana dalam kehidupan senantiasa mengingatnya,
Hakekat adalah bagaimana ikhlas, syukur dan sabar dalam kehidupan,
Ma’rifat adalah implementasi kehidupan dalam penyaksian dan menyaksikan-Nya
Apabila,
Syari’at adalah bagaimana mewujudkan penyaksian akan Allah,
Tarekat adalah bagaimana dalam kehidupan senantiasa mengingat-Nya,
Hakekat adalah bagaimana ikhlas, syukur dan sabar dalam kehidupan,
Ma’rifat adalah implementasi kehidupan dalam penyaksian dan menyaksikan-Nya
Maka,
Ma’rifat adalah penyaksian akan Allah,
Hakekat adalah ikhlas, syukur dan sabar sebelum penyaksian Allah,
Tarekat adalah jalan pengosongan sebelum hakekat,
Syari’at adalah dalil kehidupan dalam menghormati eksistensi-eksistensi lain,
Apabila dan Maka, bersatu dalam Titik,
Titik itu adalah Allah,
Syari’at-Tarekat berawal dari Titik,
Hakekat-Ma’rifat berakhir di Titik,
Billahu, Fillahu, Bi Idznillahu, Minallahu,
Allahu,
Titik.
(Diambil dari http://kalammunyeng.wordpress.com/)
Kalammunyeng
Apabila,
Ma’rifat adalah penyaksian akan Allah,
Hakekat adalah ikhlas, syukur dan sabar sebelum penyaksian Allah,
Tarekat adalah jalan pengosongan sebelum hakekat,
Syari’at adalah dalil kehidupan dalam menghormati eksistensi-eksistensi lain,
Maka,
Syari’at adalah bagaimana mewujudkan penyaksian akan Allah,
Tarekat adalah bagaimana dalam kehidupan senantiasa mengingatnya,
Hakekat adalah bagaimana ikhlas, syukur dan sabar dalam kehidupan,
Ma’rifat adalah implementasi kehidupan dalam penyaksian dan menyaksikan-Nya
Apabila,
Syari’at adalah bagaimana mewujudkan penyaksian akan Allah,
Tarekat adalah bagaimana dalam kehidupan senantiasa mengingat-Nya,
Hakekat adalah bagaimana ikhlas, syukur dan sabar dalam kehidupan,
Ma’rifat adalah implementasi kehidupan dalam penyaksian dan menyaksikan-Nya
Maka,
Ma’rifat adalah penyaksian akan Allah,
Hakekat adalah ikhlas, syukur dan sabar sebelum penyaksian Allah,
Tarekat adalah jalan pengosongan sebelum hakekat,
Syari’at adalah dalil kehidupan dalam menghormati eksistensi-eksistensi lain,
Apabila dan Maka, bersatu dalam Titik,
Titik itu adalah Allah,
Syari’at-Tarekat berawal dari Titik,
Hakekat-Ma’rifat berakhir di Titik,
Billahu, Fillahu, Bi Idznillahu, Minallahu,
Allahu,
Titik.
(Diambil dari http://kalammunyeng.wordpress.com/)
Kiriman 2
1 balasan
Muhammad Arif Darmawan (Universitas Gadjah Mada) menulispada 14 Mei 2009 jam 16:40
Sebab-Akibat terangkum dalam Titik.....
Kiriman 3
Nuryadi Pramono membalas kiriman Muhammadpada 14 Mei 2009 jam 16:55
ALLAH hanya sebuah nama,
nama yg terdiri dari Huruf2,
Huruf2 yg terangkai dari garis2,
Sementara Garis terdiri dari Titik2,
Apakah harus berhenti di TITIK?
Jawabnya TIDAK !
Sebab TITIK berawal dari sebuah IDE ! (Plato)
Itulah Hakekat dibalik sebuah TITIK !
Tan kena kinaya ngapa, Laisa kamislihi,
SUWUNG...KOSONG......
nama yg terdiri dari Huruf2,
Huruf2 yg terangkai dari garis2,
Sementara Garis terdiri dari Titik2,
Apakah harus berhenti di TITIK?
Jawabnya TIDAK !
Sebab TITIK berawal dari sebuah IDE ! (Plato)
Itulah Hakekat dibalik sebuah TITIK !
Tan kena kinaya ngapa, Laisa kamislihi,
SUWUNG...KOSONG......
Kiriman 4
1 balasan
Graha Phoenixfly Hutamawuri menulispada 14 Mei 2009 jam 18:55
Bicara hakikat titik, maka bicara hakikat bilangan nol. Sebelumnya bilangan hanya dikenal dari 1 sampai tak terhingga. Lalu setelah dikenal konsep bilangan Nol, maka segera ditemukan konsep bilangan negatif. Lengkaplah sudah konsep dasar bilangan bulat, dimana di dalamnya terdapat bilangan positif dari 1 sampai tak terhingga, bilangan negatif dari -1 sampai minus tak terhingga, dan bilangan nol sendiri.
Definisi bilangan Nol adalah kekosongan dan kehampaan, tapi walaupun kosong, didalamnya terkandung potensi semua bilangan dari positif maupun negatif.
Bilangan nol adalah bilangan unik.
jika semua bilangan dikalikan dengan 0 maka hasilnya adalah 0
jika semua bilangan ditambah atau dikurangkan dengan 0 maka hasilnya adalah bilangan itu sendiri
jika bilangan apapun dibagi dengan 0 maka hasilnya adalah tak terhingga
jika nol dibagi dengan bilangan apapun maka hasilnya adalah 0
ketika pertama ditemukan, bilangan nol dipresentasikan dalam karakter titik. Bilangan Nol ditemukan oleh ilmuwan muslim. Ketika itu islam sedang berada di puncak kejayaanya termasuk mampu menerjemahkan ilmu-ilmu yang tersirat dalam Al Quran ke dalam ilmu pengetahuan terapan. Bilangan Nol adalah manifestasi dari pemahaman akan keberadaan Allah yang mampu mengendalikan dan menguasai alam semesta keseluruhan dalam kesetimbangan. Hal ini dapat berjalan sempurna jika Tuhan berada di luar sistemnya.. istilah sederhananya, Tuhan itu berbeda dengan makhluk. Jika Makhluk memiliki nilai-nilai baik ataupun buruk. Maka Tuhan tidak memiliki nilai-nilai itu. Akan tetapi di balik itu, Tuhan memiliki potensi positif dan negatif di dalam diriNya.
Intinya adalah kenapa bilangan nol direpresentasikan dalam karakter titik.. karena itu adalah manifestasi dari kenetralan Tuhan sendiri.
Definisi bilangan Nol adalah kekosongan dan kehampaan, tapi walaupun kosong, didalamnya terkandung potensi semua bilangan dari positif maupun negatif.
Bilangan nol adalah bilangan unik.
jika semua bilangan dikalikan dengan 0 maka hasilnya adalah 0
jika semua bilangan ditambah atau dikurangkan dengan 0 maka hasilnya adalah bilangan itu sendiri
jika bilangan apapun dibagi dengan 0 maka hasilnya adalah tak terhingga
jika nol dibagi dengan bilangan apapun maka hasilnya adalah 0
ketika pertama ditemukan, bilangan nol dipresentasikan dalam karakter titik. Bilangan Nol ditemukan oleh ilmuwan muslim. Ketika itu islam sedang berada di puncak kejayaanya termasuk mampu menerjemahkan ilmu-ilmu yang tersirat dalam Al Quran ke dalam ilmu pengetahuan terapan. Bilangan Nol adalah manifestasi dari pemahaman akan keberadaan Allah yang mampu mengendalikan dan menguasai alam semesta keseluruhan dalam kesetimbangan. Hal ini dapat berjalan sempurna jika Tuhan berada di luar sistemnya.. istilah sederhananya, Tuhan itu berbeda dengan makhluk. Jika Makhluk memiliki nilai-nilai baik ataupun buruk. Maka Tuhan tidak memiliki nilai-nilai itu. Akan tetapi di balik itu, Tuhan memiliki potensi positif dan negatif di dalam diriNya.
Intinya adalah kenapa bilangan nol direpresentasikan dalam karakter titik.. karena itu adalah manifestasi dari kenetralan Tuhan sendiri.
Kiriman 5
Nuryadi Pramono menulispada 16 Mei 2009 jam 12:52
Marilah kita lebih dalam lagi menyelam kedalam TITIK, sampai menembus batas2, karakter2, imajinasi2, diam.....tak ada lagi DUALITAS...tak ada gemeresek dihati HENING.....FANA.....
Kiriman 6
Hary Pripun menulispada 19 Mei 2009 jam 20:38
tidur sebelum bermimpi boz..!
Kiriman 7
Muhammad Arif Darmawan (Universitas Gadjah Mada) membalas kiriman Grahapada 20 Mei 2009 jam 16:49
Dab, bener omonganmu dab. suwe2 koyo cangkriman boso walikan je nerangkan pengalaman spirituale dhewe2 iku.....
Padahal jan2ne yo wis tau do ngrasakke kabeh rasane fana, fana'ul fana karo baqa'. Ning le nerangke bedo2....podho wae karo diskusi masalah rasane roti Tart.....wong sepuluh kon ngrasakke roti Tart sing podho. bar kuwi kon nerangke....lak bedo2. nek dho padu kuwi mung masalah sijine nerangke roti tart kuwi podho karo sagon sing diwenehi coklat, sijine ngomong koyo hamburger ra nganggo daging ning dicelup neng coklat, sijine ngomong koyo pisang molen ra nggo gedhang......
Padahal jan2ne yo wis tau do ngrasakke kabeh rasane fana, fana'ul fana karo baqa'. Ning le nerangke bedo2....podho wae karo diskusi masalah rasane roti Tart.....wong sepuluh kon ngrasakke roti Tart sing podho. bar kuwi kon nerangke....lak bedo2. nek dho padu kuwi mung masalah sijine nerangke roti tart kuwi podho karo sagon sing diwenehi coklat, sijine ngomong koyo hamburger ra nganggo daging ning dicelup neng coklat, sijine ngomong koyo pisang molen ra nggo gedhang......
Kiriman 8
Graha Phoenixfly Hutamawuri menulispada 20 Mei 2009 jam 16:59
@dab Arif :
hahahaha benul! benul sekali... yo ngene iki nek diskusi sesuatu yang gak jelas batas2 wilayahe.. sesuatu yang sangat terbuka.. kudu ono master sing nengahi..:))
hahahaha benul! benul sekali... yo ngene iki nek diskusi sesuatu yang gak jelas batas2 wilayahe.. sesuatu yang sangat terbuka.. kudu ono master sing nengahi..:))
Kiriman 9
Kj Rasyid menulispada 20 Mei 2009 jam 18:15
^
^
kl sy melihat forum ini adalah untuk mengasah pemahaman diri kang...
kadang2 di luar forum ini kita kesulitan mencari kesepahaman dengan org lain y? heheh
^
kl sy melihat forum ini adalah untuk mengasah pemahaman diri kang...
kadang2 di luar forum ini kita kesulitan mencari kesepahaman dengan org lain y? heheh
Kiriman 10
Kj Rasyid membalas kiriman Muhammadpada 20 Mei 2009 jam 18:27
satu juz Al Qur'an diringkas dalam surah Al Fatihah.
7 ayat surah Al Fatihah diringkas dalam Bismillahirrahmanirrahiim
Bismillahirrahmanirrahiim diringkas dalam Huruf Ba'
Ba' diringkas dlm titik dibawahnya...
7 ayat surah Al Fatihah diringkas dalam Bismillahirrahmanirrahiim
Bismillahirrahmanirrahiim diringkas dalam Huruf Ba'
Ba' diringkas dlm titik dibawahnya...
Kiriman 11
Muhammad Arif Darmawan (Universitas Gadjah Mada) menulispada 20 Mei 2009 jam 19:52
he he he. Pas Kj Rasyid. pas njenengan nulis ini saya barusan keluar pembahasaan saya yang dulu sukar terbahasakan......
Kiriman 12
1 balasan
Muhammad Arif Darmawan (Universitas Gadjah Mada) menulispada 20 Mei 2009 jam 19:55
Titik = Hakekat di atas hakekat titik
(Haqeqatul Haqaiq)
Konsepsi mengenai ilmu ke-wilayah-an berangkat dari kategorisasi yang dilakukan adalah al-Ghazali. Meski pengalaman sufistik sudah dialami oleh Sufi2 sebelum beliau, namun pembahasaan al-Ghazali-lah yang sering dijadikan acuan dalam menerangkan tasawuf. Memang kita harus cerdas dan bijaksana dalam membedakan antara pengalaman dengan pembahasaan akan pengalaman yang tentunya pembahasaan memiliki dimensi yang jauuuuuuuuuuuuuh lebih rendah dari pengalamannya itu sendiri.
Apabila digambarkan dalam sebuah ilustrasi, syari’at-tarekat-hakekat dan ma’rifat bukanlah linier, namun melingkar sebagaimana kami berusaha untuk mendiskripsikannya berikut ini. Apabila kita ilustrasikan, inti dari sebuah lingkaran adalah sebuah titik. Dengan menggunakan jangka, maka kita dapat membuat sebuah lingkaran dengan jari-jari lingkaran sebesar R. Sebuah lingkaran berputar pada porosnya memiliki keliling lingkaran atau 2πr dan luas sebesar πr2. Syari’at atau dimensi eksoterik dalam beragama berada pada kulitnya sehingga kulit memiliki ketebalan sebesar (R-r) dengan R jari-jari lingkaran beserta kulit dan r sebagai jari-jari lingkaran tanpa kulit. Kulit yang memiliki ketebalan (R-r) merupakan dimensi lahiriah atau syari’at sedangkan r merupakan tebal dari buahnya. Sebagaimana sebuah buah yang dinikmati oleh penikmat maka ketebala buah adalah nikmatnya iman dan takwa. Namun demikian, setelah lapisan ini dibuka maka kemudian terdapat titik yang merupakan titik poros dari lingkaran itu. Titik poros lingkaran itu diibaratkan inti yang terkata dan terdefinisikan sehingga kita bisa mendeskripsikan, mengatakan dan bahkan bisa melihat titik itu. Namun demikian dibalik tabir titik itu ada suatu lingkaran imajiner yang tiada terkata, tiada terucap dan tiada terdefinisikan yang dalam tasawuf disebut sebagai Sir. Dalam dan luasnya Sir ini tidak bisa didefinisikan dan berkebalikan dengan lingkaran luar, karena apabila lingkaran luar ini semakin luas maka dikatakan semakin besar, maka lingkaran dalam ini semakin kecil, kecil, kecil dan samar, maka semakin dalam. Maka pada tapal batas antara kemunculan poros lingkaran luar atau t dan kesirnaannya disebut sebagai titik paradoks dan kontradiksi. Apabila kami menyebut lingkaran luar sebagai L dan lingkaran kecil sebagai l, jari-jari luar (termasuk kulit) adalah R dan jari-jari lingkaran tanpa kulit adalah r, maka penyebutan bagi titiknya berkebalikan, yaitu t untuk lingkaran besar dan T untuk lingkaran “imajiner”/samar di dalam titik t.
Pada titik t inilah diibaratkan, “aku dapat melihat dalam kegelapan” atau lebih ekstrim lagi, “guruku adalah syaithan”. Tidak ada baik-buruk, karena dalam kebaikan ada keburukan dan dalam keburukan ada kebaikan. Tidak ada benar-salah karena dalam kebenaran ada kesalahan dan dalam suatu kesalahan ada kebenaran. Kontradiksi dan paradoks seperti ini terdapat pula dalam ajaran-ajaran Zen, Vedik dan Qoballah sehingga oleh orang-orang yang tidak memahami dimensi bathiniah dari Islam maka sering mengatakan bahwa Tasawuf itu kemasukan unsur-unsur Budha, Hindu, dan lain sebagainya.
Pada orang-orang yang berada dalam kondisi fana, maka titik t ini hilang dan masuk ke jari-jari lingkaran imajiner t dan ketika mencapai jari-jari imajiner T maka ia mengalami fana’ul fana dan ketika sampai pada titik T atau titik di dalam titik, maka seseorang akan mengalami kondisi Baqa’. Yang jadi perbedaan pendapat antar ahli Tasawuf dalam hal metode (bukan masalah pencapaian Ma’rifatullah) biasanya terletak pada metode suluk-nya. Apa yang dikatakan oleh Syaikh Junaid adalah pengetahuan insaniah-nya dibatasi oleh garis demarkasi al-Qur’an dan sunnah sehingga tidak terjadi kontradiksi semesta.
Kontradiksi semesta ini dapat dimisalkan hubungan ba’ dengan titik di bawahnya. Di dunia riil/wujud, seseorang yang naik kapal ibarat titik di atas huruf NUUN. Sebagian ahli hikmah mengatakan bahwa kisah NUUH yang ada dalam al-Qur’an bukan hanya memiliki dimensi wujudiah berupa kisah nyata pada jamannya, namun memiliki makna yang dalam berupa titik di atas huruf NUUN. Makhluk yang selamat karena berada di atas kapal yang berlayar di atas samudra atau tauhid nuuh masih sebatas adanya dualitas dan belum menembus dimensi yang lebih dalam atau SAMAR (sering dikatakan bahwa Semar itu bermakna samar atau hakekat dibalik titik). Dibalik realitas wujud semesta ini terdapat dimensi samar yang kami misalkan dengan jari-jari titik t dengan pusat poros “imajiner” Titik T yang kemudian dalam huruf Arab disimbolisasikan dengan titik di bawah huruf Ba’ atau para Syaikh jaman dahulu menyebutkan sebagai Bahr al-Qudrah atau samudra kekuatan.
Uniknya, bahr al-Qudrah ini berada di bawah Ba’ atau dialah yang menyangga semesta karena dibalik wujud semesta masih ada hakekat semesta atau Sirr-ullah dan dibalik itu adalah Sirrul Asrar (rahasia di atas rahasia). Sehingga apa yang dikatakan oleh Ibnu Arabi ketika beliau khotbah Jum’at pada suatu waktu, “Apabila tidak karena tangan-Ku, maka Nuuh (bahtera Nuuh) tidak akan selamat” merupakan sesuatu yang lazim bagi yang pernah mengalaminya.
Taraf sampai pada Titik itu tidaklah seperi yang terkata, karena apapun yang terkata itu linier. Ada manusia-manusia tertentu yang lahir telah berada pada kesadaran samar (hakekat) dan sebagian besar (hampir semuanya) berada pada kulit L atau lingkaran besar (syari’at). Namun demikian, seorang Syaikh Sadziliah, yaitu Syaikh Fadhlalllah Haeri berkata, “Apabila seseorang berangkat dari Hakekat maka ia menuju Syari’at untuk mencapai Ma’rifat dan apabila seseorang berangkat dari Syari’at maka ia menuju Hakekat untuk mencapai Ma’rifat. Seorang teman saya pernah berkata, “Tidak ada Hakekat tanpa Tarekat, tidak ada Ma’rifat tanpa Syari’at”. Jadi, pemahaman akan syari’at-tarekat-hakekat-ma’rifat ini akan difahami linier apabila difahami kurang pada tempatnya, padahal pemahaman ini melingkar atau 360 derajat. Jadi karena kesamaran dimensi ini, maka para Syaikh yang tawadlu’ sering mewejang, “Ilmu hanyalah milik Allah” dan apabila semua samudra menjadi tinta dan pohon menjadi pena, tidak akan cukup untuk menguasai ilmu Allah….
Terimakasih kepada teman-teman atas masukannya, paparan saya hanyalah pembahasaan paling luar dari pengalaman spiritual saya yang tentunya temen-temen lain juga memahami karena mengalami, meski membahasakan dan mem-paradigmakan-nya dalam bahasa yang berbeda-beda. Ketika terkata (WUJUD), maka pengalaman yang terjadi di dalam SAMAR itu memiliki dualitasnya, sehingga akan menjadi kontradiktif dan paradoks. Barangkali disinilah yang disebut dalam filosofi Jawa sebagai “SEMAR KANG MANGEJAWANTAH” atau samar yang tertulis dan terbaca atau ayat-ayat hidup (ayat khauniyah) dimana ketika apa yang didalam itu terwujud, maka terjadilah kisah-kisah kehidupan yang tersusun dari huruf-kata-kalimat yang semuanya berasal dari bentuk-garis-titik dan berasal dari mata air Titik T atau titik di dalam titik yang tidak memiliki jari-jari namun memiliki, memiliki jari-jari namun tidak…..Karena di dalam rahasia itu adalah Rahasia-Nya yang berasal dari Titik namun bukan titik, titik namun bukan Titik dan itu semua samar dan tidak terjangkau kata-kata. Oleh karena itu apabila dalam bahasa Arab Rasul berkata, “Pakailah pakaian yang paling bagus dan pakaian yang paling bagus adalah taqwa”, maka para Syaikh di Jawa mengatakan, “Agama itu pakaian (Agama iku Ageman)” dimana di dalamnya terdapat Haq dan Bathil, manfaat, maslahat sebagai bekal kita untuk SEBO MENGKO SORE (Menghadap nanti sore/ketika mati kelak)……Bukankah yang dinilai adalah amal sholeh kita di dunia……Saya tidak mengharapkan Surga-Nya, tapi kalau diberi ya tidak nolak. Karena saya tidak layak untuk mendapatkan Surga-Mu, namun aku juga tidak kuat berada dalam Neraka-Mu. Ampunilah Hamba……(al-I’tirof)…..
Ya Allah, Hakekat dari hakekat itu samar, bagiku Engkau adalah Tuhan-ku yang memiliki 99 asma indah, ibarat roda berputar yang memiliki 99 jeruji kokoh penyangga realitas kehidupan. Sifat-Mu dua puluh, dimana dalam setiap nafas dan langkah akupun masih belajar. Dan Rasulullah adalah wujud manifestasimu paling sempurna dalam perputaran Roda Kehidupan yang 360 derajat, belaulah suri tauladan terbaik…..
(Ada suatu pertanyaan yang menggelitik, MENGAPA KOK HURUF JAWA NGGA ADA TITIK-NYA ?)
NB : Kang Kj Rasyid, bisa menambahi. teman2 sekalian ada yang bisa nambah2i biar lengkap....
(Haqeqatul Haqaiq)
Konsepsi mengenai ilmu ke-wilayah-an berangkat dari kategorisasi yang dilakukan adalah al-Ghazali. Meski pengalaman sufistik sudah dialami oleh Sufi2 sebelum beliau, namun pembahasaan al-Ghazali-lah yang sering dijadikan acuan dalam menerangkan tasawuf. Memang kita harus cerdas dan bijaksana dalam membedakan antara pengalaman dengan pembahasaan akan pengalaman yang tentunya pembahasaan memiliki dimensi yang jauuuuuuuuuuuuuh lebih rendah dari pengalamannya itu sendiri.
Apabila digambarkan dalam sebuah ilustrasi, syari’at-tarekat-hakekat dan ma’rifat bukanlah linier, namun melingkar sebagaimana kami berusaha untuk mendiskripsikannya berikut ini. Apabila kita ilustrasikan, inti dari sebuah lingkaran adalah sebuah titik. Dengan menggunakan jangka, maka kita dapat membuat sebuah lingkaran dengan jari-jari lingkaran sebesar R. Sebuah lingkaran berputar pada porosnya memiliki keliling lingkaran atau 2πr dan luas sebesar πr2. Syari’at atau dimensi eksoterik dalam beragama berada pada kulitnya sehingga kulit memiliki ketebalan sebesar (R-r) dengan R jari-jari lingkaran beserta kulit dan r sebagai jari-jari lingkaran tanpa kulit. Kulit yang memiliki ketebalan (R-r) merupakan dimensi lahiriah atau syari’at sedangkan r merupakan tebal dari buahnya. Sebagaimana sebuah buah yang dinikmati oleh penikmat maka ketebala buah adalah nikmatnya iman dan takwa. Namun demikian, setelah lapisan ini dibuka maka kemudian terdapat titik yang merupakan titik poros dari lingkaran itu. Titik poros lingkaran itu diibaratkan inti yang terkata dan terdefinisikan sehingga kita bisa mendeskripsikan, mengatakan dan bahkan bisa melihat titik itu. Namun demikian dibalik tabir titik itu ada suatu lingkaran imajiner yang tiada terkata, tiada terucap dan tiada terdefinisikan yang dalam tasawuf disebut sebagai Sir. Dalam dan luasnya Sir ini tidak bisa didefinisikan dan berkebalikan dengan lingkaran luar, karena apabila lingkaran luar ini semakin luas maka dikatakan semakin besar, maka lingkaran dalam ini semakin kecil, kecil, kecil dan samar, maka semakin dalam. Maka pada tapal batas antara kemunculan poros lingkaran luar atau t dan kesirnaannya disebut sebagai titik paradoks dan kontradiksi. Apabila kami menyebut lingkaran luar sebagai L dan lingkaran kecil sebagai l, jari-jari luar (termasuk kulit) adalah R dan jari-jari lingkaran tanpa kulit adalah r, maka penyebutan bagi titiknya berkebalikan, yaitu t untuk lingkaran besar dan T untuk lingkaran “imajiner”/samar di dalam titik t.
Pada titik t inilah diibaratkan, “aku dapat melihat dalam kegelapan” atau lebih ekstrim lagi, “guruku adalah syaithan”. Tidak ada baik-buruk, karena dalam kebaikan ada keburukan dan dalam keburukan ada kebaikan. Tidak ada benar-salah karena dalam kebenaran ada kesalahan dan dalam suatu kesalahan ada kebenaran. Kontradiksi dan paradoks seperti ini terdapat pula dalam ajaran-ajaran Zen, Vedik dan Qoballah sehingga oleh orang-orang yang tidak memahami dimensi bathiniah dari Islam maka sering mengatakan bahwa Tasawuf itu kemasukan unsur-unsur Budha, Hindu, dan lain sebagainya.
Pada orang-orang yang berada dalam kondisi fana, maka titik t ini hilang dan masuk ke jari-jari lingkaran imajiner t dan ketika mencapai jari-jari imajiner T maka ia mengalami fana’ul fana dan ketika sampai pada titik T atau titik di dalam titik, maka seseorang akan mengalami kondisi Baqa’. Yang jadi perbedaan pendapat antar ahli Tasawuf dalam hal metode (bukan masalah pencapaian Ma’rifatullah) biasanya terletak pada metode suluk-nya. Apa yang dikatakan oleh Syaikh Junaid adalah pengetahuan insaniah-nya dibatasi oleh garis demarkasi al-Qur’an dan sunnah sehingga tidak terjadi kontradiksi semesta.
Kontradiksi semesta ini dapat dimisalkan hubungan ba’ dengan titik di bawahnya. Di dunia riil/wujud, seseorang yang naik kapal ibarat titik di atas huruf NUUN. Sebagian ahli hikmah mengatakan bahwa kisah NUUH yang ada dalam al-Qur’an bukan hanya memiliki dimensi wujudiah berupa kisah nyata pada jamannya, namun memiliki makna yang dalam berupa titik di atas huruf NUUN. Makhluk yang selamat karena berada di atas kapal yang berlayar di atas samudra atau tauhid nuuh masih sebatas adanya dualitas dan belum menembus dimensi yang lebih dalam atau SAMAR (sering dikatakan bahwa Semar itu bermakna samar atau hakekat dibalik titik). Dibalik realitas wujud semesta ini terdapat dimensi samar yang kami misalkan dengan jari-jari titik t dengan pusat poros “imajiner” Titik T yang kemudian dalam huruf Arab disimbolisasikan dengan titik di bawah huruf Ba’ atau para Syaikh jaman dahulu menyebutkan sebagai Bahr al-Qudrah atau samudra kekuatan.
Uniknya, bahr al-Qudrah ini berada di bawah Ba’ atau dialah yang menyangga semesta karena dibalik wujud semesta masih ada hakekat semesta atau Sirr-ullah dan dibalik itu adalah Sirrul Asrar (rahasia di atas rahasia). Sehingga apa yang dikatakan oleh Ibnu Arabi ketika beliau khotbah Jum’at pada suatu waktu, “Apabila tidak karena tangan-Ku, maka Nuuh (bahtera Nuuh) tidak akan selamat” merupakan sesuatu yang lazim bagi yang pernah mengalaminya.
Taraf sampai pada Titik itu tidaklah seperi yang terkata, karena apapun yang terkata itu linier. Ada manusia-manusia tertentu yang lahir telah berada pada kesadaran samar (hakekat) dan sebagian besar (hampir semuanya) berada pada kulit L atau lingkaran besar (syari’at). Namun demikian, seorang Syaikh Sadziliah, yaitu Syaikh Fadhlalllah Haeri berkata, “Apabila seseorang berangkat dari Hakekat maka ia menuju Syari’at untuk mencapai Ma’rifat dan apabila seseorang berangkat dari Syari’at maka ia menuju Hakekat untuk mencapai Ma’rifat. Seorang teman saya pernah berkata, “Tidak ada Hakekat tanpa Tarekat, tidak ada Ma’rifat tanpa Syari’at”. Jadi, pemahaman akan syari’at-tarekat-hakekat-ma’rifat ini akan difahami linier apabila difahami kurang pada tempatnya, padahal pemahaman ini melingkar atau 360 derajat. Jadi karena kesamaran dimensi ini, maka para Syaikh yang tawadlu’ sering mewejang, “Ilmu hanyalah milik Allah” dan apabila semua samudra menjadi tinta dan pohon menjadi pena, tidak akan cukup untuk menguasai ilmu Allah….
Terimakasih kepada teman-teman atas masukannya, paparan saya hanyalah pembahasaan paling luar dari pengalaman spiritual saya yang tentunya temen-temen lain juga memahami karena mengalami, meski membahasakan dan mem-paradigmakan-nya dalam bahasa yang berbeda-beda. Ketika terkata (WUJUD), maka pengalaman yang terjadi di dalam SAMAR itu memiliki dualitasnya, sehingga akan menjadi kontradiktif dan paradoks. Barangkali disinilah yang disebut dalam filosofi Jawa sebagai “SEMAR KANG MANGEJAWANTAH” atau samar yang tertulis dan terbaca atau ayat-ayat hidup (ayat khauniyah) dimana ketika apa yang didalam itu terwujud, maka terjadilah kisah-kisah kehidupan yang tersusun dari huruf-kata-kalimat yang semuanya berasal dari bentuk-garis-titik dan berasal dari mata air Titik T atau titik di dalam titik yang tidak memiliki jari-jari namun memiliki, memiliki jari-jari namun tidak…..Karena di dalam rahasia itu adalah Rahasia-Nya yang berasal dari Titik namun bukan titik, titik namun bukan Titik dan itu semua samar dan tidak terjangkau kata-kata. Oleh karena itu apabila dalam bahasa Arab Rasul berkata, “Pakailah pakaian yang paling bagus dan pakaian yang paling bagus adalah taqwa”, maka para Syaikh di Jawa mengatakan, “Agama itu pakaian (Agama iku Ageman)” dimana di dalamnya terdapat Haq dan Bathil, manfaat, maslahat sebagai bekal kita untuk SEBO MENGKO SORE (Menghadap nanti sore/ketika mati kelak)……Bukankah yang dinilai adalah amal sholeh kita di dunia……Saya tidak mengharapkan Surga-Nya, tapi kalau diberi ya tidak nolak. Karena saya tidak layak untuk mendapatkan Surga-Mu, namun aku juga tidak kuat berada dalam Neraka-Mu. Ampunilah Hamba……(al-I’tirof)…..
Ya Allah, Hakekat dari hakekat itu samar, bagiku Engkau adalah Tuhan-ku yang memiliki 99 asma indah, ibarat roda berputar yang memiliki 99 jeruji kokoh penyangga realitas kehidupan. Sifat-Mu dua puluh, dimana dalam setiap nafas dan langkah akupun masih belajar. Dan Rasulullah adalah wujud manifestasimu paling sempurna dalam perputaran Roda Kehidupan yang 360 derajat, belaulah suri tauladan terbaik…..
(Ada suatu pertanyaan yang menggelitik, MENGAPA KOK HURUF JAWA NGGA ADA TITIK-NYA ?)
NB : Kang Kj Rasyid, bisa menambahi. teman2 sekalian ada yang bisa nambah2i biar lengkap....
Kiriman 13
Muhammad Arif Darmawan (Universitas Gadjah Mada) menulispada 20 Mei 2009 jam 19:58
Wah, ngga bisa upload gambar....padahal udah ada gambarnya.....
Kiriman 14
Kj Rasyid membalas kiriman Muhammadpada 20 Mei 2009 jam 23:07
waduh yen sampeyan rak iso upload gambar,,, sy malah gak iso upload huruf2-e kang... hehehe
karena sebuah pengalaman spiritual kadangkala bukan menjadi konsumsi bagi orang lain kecuali bagi ybs itu sendiri. bagaimana bisa menjelaskan sesuatu yg menjadi rahasia antara kekasih dengan yg dikasihinya kepada org lain kecuali mereka menjadi seorang pencinta juga?? bila dipaksa-pun utk menceritakan melalui kata2/kalimat tentu akan menimbulkan bias pemahaman...
kalau dicermati kata2/ujaran para syaikh itu memang menimbulkan multi tafsir, tergantung sejauh mana pemahaman seseorang berada. kata2 bersayap ini selayaknya-lah menjadi petunjuk alias rambu2 bagi penempuh jalan ruhani....
bahkan sy teringat akan sebuah kisah yg menceritakan betapa di alam sana, ada seorang alim yg menyesal karena telah menulis berbagai kitab semasa hidupnya, dimana akhirnya isi tulisan kitab2 itu akhirnya menjadi hijab dalam pencarian seseorang hamba kepada Tuhannya...
untuk mengetahui hakikat titik dari huruf ba' itu tidak bisa sekedar dipelajari dari berbagai literatur,, demi mengenal makna2 yg tersembunyi dibaliknya. melainkan dengan langsung ikut terjun ke dlm air samudera untuk menemukan mutiara2 di dasarnya... pencarian butir2 mutiara di samudera ini tentunya akan menjumpai hempasan badai dan gelombang! bila seseorang melihat sebutir mutiara di dalam sebuah ember berisi air laut? apakah yg terjadi? bisakah dia memastikan bahwa mutiara itu asli atau imitasi? bisakah dia memastikan bahwa mutiara itu bukan sekedar buatan seorang pedagang kaki-lima yg mencari keuntungan pamrih duniawi semata?
huruf ba' bisa berarti gerbang/pintu, dimana titik itu merupakan kunci untuk membukanya. nah dalam konteks ini pintu apakah itu? dan kunci seperti apakah yg dipakai untuk membuka pintu itu??
karena sebuah pengalaman spiritual kadangkala bukan menjadi konsumsi bagi orang lain kecuali bagi ybs itu sendiri. bagaimana bisa menjelaskan sesuatu yg menjadi rahasia antara kekasih dengan yg dikasihinya kepada org lain kecuali mereka menjadi seorang pencinta juga?? bila dipaksa-pun utk menceritakan melalui kata2/kalimat tentu akan menimbulkan bias pemahaman...
kalau dicermati kata2/ujaran para syaikh itu memang menimbulkan multi tafsir, tergantung sejauh mana pemahaman seseorang berada. kata2 bersayap ini selayaknya-lah menjadi petunjuk alias rambu2 bagi penempuh jalan ruhani....
bahkan sy teringat akan sebuah kisah yg menceritakan betapa di alam sana, ada seorang alim yg menyesal karena telah menulis berbagai kitab semasa hidupnya, dimana akhirnya isi tulisan kitab2 itu akhirnya menjadi hijab dalam pencarian seseorang hamba kepada Tuhannya...
untuk mengetahui hakikat titik dari huruf ba' itu tidak bisa sekedar dipelajari dari berbagai literatur,, demi mengenal makna2 yg tersembunyi dibaliknya. melainkan dengan langsung ikut terjun ke dlm air samudera untuk menemukan mutiara2 di dasarnya... pencarian butir2 mutiara di samudera ini tentunya akan menjumpai hempasan badai dan gelombang! bila seseorang melihat sebutir mutiara di dalam sebuah ember berisi air laut? apakah yg terjadi? bisakah dia memastikan bahwa mutiara itu asli atau imitasi? bisakah dia memastikan bahwa mutiara itu bukan sekedar buatan seorang pedagang kaki-lima yg mencari keuntungan pamrih duniawi semata?
huruf ba' bisa berarti gerbang/pintu, dimana titik itu merupakan kunci untuk membukanya. nah dalam konteks ini pintu apakah itu? dan kunci seperti apakah yg dipakai untuk membuka pintu itu??
Kiriman 15
1 balasan
Graha Phoenixfly Hutamawuri menulispada 21 Mei 2009 jam 0:02
tambahan buat mas-mas diatas... terkadang perlu sebuah pemikiran out of the box. maksud saya, terkadang mutiara tidak hanya dapat ditemukan di dasr lautan saja.. juga bisa didapat di sawah-sawah, tempat sampah, dan stadion sepak bola.
sekedar menambahi makna titik di bawah ba.. suatu paradigma untuk berani thinking out of the box.. ^_^
sekedar menambahi makna titik di bawah ba.. suatu paradigma untuk berani thinking out of the box.. ^_^
Kiriman 16
Muhammad Arif Darmawan (Universitas Gadjah Mada) menulispada 21 Mei 2009 jam 0:58
dab, dasar lautan kan bahasa kiasan. kalau lapangan sepakbola, sawah-sawah, tempat sampah dan stadion sepak bola kan bahasa benda/wujud....
yang dimaksud dasar samudra kan kedalaman diri kita dalam menyelam dalam diri kita (inward looking). kalau melihat ayat2 khauniyah akan muncul makna-makna atau substansi dari fenomena yang terjadi.
saya ngeliat Jogja sekarang dan dulu beda, bukan beda dalam artian Jogja secara fenumenal, namun saya sendiri dalam melihatnya berbeda....
memang, dalam melihat sawah2, lapangan sepakbola dsb kita mendapatkan makna-makna atau substansi-substansi, namun di balik itu semua masih ada yang lebih hakiki sebagaimana yang dikatakan Kj Rasyid.
menemukan mutiara dalam dasar samudra merupakan salah satu bentuk kiasan semata sebagaimana bisa dikiaskan dengan mengupas bawang bombay. Lapis demi lapis kita kupas, kita mengira itu adalah isinya, sampai pada lapisan2 paling akhir yang kita temukan adalah kekosongan.
begitu pula kiasan dalam bentuk cerita Bimo dalam Pandhawa lima, Ia menjalani laku menemukan-Nya melalui mencari ke Gunung, kesana kemari (cari di sawah, di lapangan sepak bola, di tempat sampah), namun akhirnya menyelam kedalam samudra. di dalam samudra dia dililit ular....bla bla bla bla, akhirnya ketemu Dewa Ruci yang merupakan miniatur dari diri-nya. Namun paradoksnya adalah miniatur itu bisa muat dirinya dan Bimo masuk ke dalam Dewa Ruci melalui telinganya.
Itulah mengapa dalam khazanah Tasawuf Jawa, para wali menggunakan kiasan-kiasan dan kisah-kisah untuk menghijab kesadaran itu dari orang yang belum saatnya tahu (atau justru) untuk membawa orang Jawa pada kesadaran itu.
yang dimaksud dasar samudra kan kedalaman diri kita dalam menyelam dalam diri kita (inward looking). kalau melihat ayat2 khauniyah akan muncul makna-makna atau substansi dari fenomena yang terjadi.
saya ngeliat Jogja sekarang dan dulu beda, bukan beda dalam artian Jogja secara fenumenal, namun saya sendiri dalam melihatnya berbeda....
memang, dalam melihat sawah2, lapangan sepakbola dsb kita mendapatkan makna-makna atau substansi-substansi, namun di balik itu semua masih ada yang lebih hakiki sebagaimana yang dikatakan Kj Rasyid.
menemukan mutiara dalam dasar samudra merupakan salah satu bentuk kiasan semata sebagaimana bisa dikiaskan dengan mengupas bawang bombay. Lapis demi lapis kita kupas, kita mengira itu adalah isinya, sampai pada lapisan2 paling akhir yang kita temukan adalah kekosongan.
begitu pula kiasan dalam bentuk cerita Bimo dalam Pandhawa lima, Ia menjalani laku menemukan-Nya melalui mencari ke Gunung, kesana kemari (cari di sawah, di lapangan sepak bola, di tempat sampah), namun akhirnya menyelam kedalam samudra. di dalam samudra dia dililit ular....bla bla bla bla, akhirnya ketemu Dewa Ruci yang merupakan miniatur dari diri-nya. Namun paradoksnya adalah miniatur itu bisa muat dirinya dan Bimo masuk ke dalam Dewa Ruci melalui telinganya.
Itulah mengapa dalam khazanah Tasawuf Jawa, para wali menggunakan kiasan-kiasan dan kisah-kisah untuk menghijab kesadaran itu dari orang yang belum saatnya tahu (atau justru) untuk membawa orang Jawa pada kesadaran itu.
Kiriman 17
Muhammad Iqbal menulispada 21 Mei 2009 jam 7:31
teori mudah, prakteknya perlu pengorbanan, karena semua masih dalam akal kita belum tembus kepada jiwa ini . . . mudah mudahan kita dipertemukan dengan kekasih kekasih alloh.
Kiriman 18
Graha Phoenixfly Hutamawuri menulispada 21 Mei 2009 jam 11:21
hahaha.. yoi dab.. maksudku dengan lapangan sepakbola, sawah dan tempat sampah itu juga bukan sebuah substansi.. tapi kata bersayap dari sebuah kue lapis *halah kewolak-walik dadine ^_^* intine podho karo sing tok tuliske..
ada orang yang dapat memahami Tuhan melalui pengajian, tapi jangan salahkan orang lain yang dapat mencapai maqom fana billah karena sering nongkrong di terminal atau rumah bordil..dan ini nyata ada, temenku sendiri ada yang seperti itu. itulah makna tempat sampah yang aku tulis.
ada orang yang dapat memahami Tuhan melalui pengajian, tapi jangan salahkan orang lain yang dapat mencapai maqom fana billah karena sering nongkrong di terminal atau rumah bordil..dan ini nyata ada, temenku sendiri ada yang seperti itu. itulah makna tempat sampah yang aku tulis.
Kiriman 19
1 balasan
Muhammad Arif Darmawan (Universitas Gadjah Mada) menulispada 21 Mei 2009 jam 22:00
bener sekali, berarti kalau memang pingin praktek, bukan di forum ini tapi di forum kehidupan. disini kita cuman beranjangsana sesama-sama orang kenthir (kenthir Pangeran maksudnya).....
Kiriman 20
Kj Rasyid membalas kiriman Muhammadpada 21 Mei 2009 jam 23:43
setuju kang! heheh
Kiriman 21
Zainal Abidin A menulispada 29 Mei 2009 jam 17:43
setuju juga kang...!!
Kiriman 22
1 balasan
Pulung Tri Handoko membalas kiriman Grahapada 29 Mei 2009 jam 18:31
aku wis nulis tiba2 tulisane ra ke kirim goleki nengdi?
Kiriman 23
Graha Phoenixfly Hutamawuri membalas kiriman Pulungpada 29 Mei 2009 jam 18:40
whaahahaha.. pak pupul mesti nulis sing isih belum sepantasnya ditulis dimari hyaahahahaha..
sugeng rawuh pak.. ojo kapok yo nulis dimari ya.. tulis yang ringan2 dulu.. perkenalan dulu lah ibaratnya hehehehe
sugeng rawuh pak.. ojo kapok yo nulis dimari ya.. tulis yang ringan2 dulu.. perkenalan dulu lah ibaratnya hehehehe
Kiriman 24
1 balasan
Pulung Tri Handoko menulispada 29 Mei 2009 jam 18:41
melu dab... nek praktek neng laboratorium perlu alat peraga untuk uji kelayakan or meneliti sesuatu yang akan di praktekan, kenapa kita gak....berusaha menyadari dulu untuk mencari alat praktek dan alat peraga yang pas buat diri kita karena kita harus yakin bahwa kita masing2 punya alat peraga untuk uji kelayakan kita masing2, siapa yang bisa menemukan tempat dan cara serta ruang uji kelayakan pasti bisa menemukan apa yang dia inginkan...
Kiriman 25
Pulung Tri Handoko menulispada 29 Mei 2009 jam 18:43
hayo wong dalan jhe kadang tatakramane kurang yo njaluk ngapura karo kabeh kanca2..... njaluk ngapura lahir lan batin njih
Kiriman 26
Graha Phoenixfly Hutamawuri membalas kiriman Pulungpada 29 Mei 2009 jam 18:49
nhaa gitu lho.. bahasa diturunkan dulu.... tapi kok aku juga masih belum mudheng dengan pembahasan njenengan ya? .. bahasanya masih perlu diturunkan lagi tuh dab :)
Kiriman 27
Muhammad Arif Darmawan (Universitas Gadjah Mada) menulispada 31 Mei 2009 jam 9:22
@ Mas Pulung : sugeng rawuh......kalau temennya Graha mesti sudah Professor di Laboratorium Kehidupan, Universitas Semesta Raya......Wong ndalan pundi njih, kaliyan jalan Sarkem celak mboten ? he he he
Kiriman 28
Pulung Tri Handoko menulispada 31 Mei 2009 jam 16:31
wah njih kalebu tanah jajahan kula kagem pados ilmu....niku menawi sarkem neng mboten termasuk nyobi lho... namung ningali hehehe..., kesupen matur nuwun sugeng rawuh ugi mas Arif....., waduh nek masalah profesor Semesta raya universiti niku njih namung profesor ugi ingkang ngertos.... kula mboten ngerti napa jhe mas....
Kiriman 29
1 balasan
Eyang Hakimi menulispada 08 Juni 2009 jam 20:13
puisi 43
43>23>11>3>34>19
43 (empat tiga)
karena angka terbesarnya 4 maka basis terdekatnya adalah 5
43 basis 5 berapakah bilangan desimalnya
dengan cara (4x5 pangkat 1)+(3x5 pangkat 0)
kita mendapat bilangan desimal 23 (duapuluh tiga)
selain dengan basis desimal 23 (dua tiga) bisa pakai basis lain
23 (dua tiga)
karena angka terbesarnya 3 maka basis terdekatnya adalah 4
23 basis 4 berapakah bilangan desimalnya
dengan cara (2x4 pangkat 1)+(3x4 pangkat 0)
kita mendapat bilangan decimal 11 (sepuluh satu)
selain dengan basis decimal 11 (satu satu) bisa pakai basis lain
11 (satu satu)
karena angka terbesarnya 1 maka basis terdekatnya adalah 2
11 basis 2 berapakah bilangan desimalnya
dengan cara (1x2 pangkat 1)+(1x2 pangkat 0)
maka kita mendapat 3 (tiga)
karena “sendiri” maka 3 tak punya pembanding
karena tak punya pembanding maka
3 adalah 3 dalam basis 10
3 adalah 3 dalam basis 9
3 adalah 3 dalam basis 8
3 adalah 3 dalam basis 7
3 adalah 3 dalam basis 6
3 adalah 3 dalam basis 5
3 adalah 3 dalam basis 4
karena 3 maka basis terdekatnya ialah 4
ditulis sebagai 34
dalam sistem non decimal dibaca “tiga empat”
dalam sistem decimal “tigapuluh empat”
34 (tiga empat)
karena angka terbesarnya 4 maka basis terdekatnya ialah 5
34 basis 5 berapakah bilangan desimalnya
dengan cara (3x5 pangkat 1)+(4x5 pangkat 0)
kita mendapat bilangan decimal 19 (sepuluh sembilan)
19 (satu sembilan)
karena angka terbesarnya 9 maka tak ada pilihan bagi 19 (satu sembilan)
kecuali memakai basis 10
dengan cara (1x10 pangkat 1)+(9x10 pangkat 0)
kita mendapat bilangan desimal 19 (sembilanbelas)
dengan demikian maka disimpulkan bahwa dalam 43 adalah 19
Kotabaru, 21.01.2009. 10.01
HAKIMI
Hehehe, ada satu lagi nih, barangkali terpakai ...dekati/temukan dengan angka, sementara ini angka adalah yang paling jujur, 1 untuk "satu", 2 untuk "dua" dst...
43>23>11>3>34>19
43 (empat tiga)
karena angka terbesarnya 4 maka basis terdekatnya adalah 5
43 basis 5 berapakah bilangan desimalnya
dengan cara (4x5 pangkat 1)+(3x5 pangkat 0)
kita mendapat bilangan desimal 23 (duapuluh tiga)
selain dengan basis desimal 23 (dua tiga) bisa pakai basis lain
23 (dua tiga)
karena angka terbesarnya 3 maka basis terdekatnya adalah 4
23 basis 4 berapakah bilangan desimalnya
dengan cara (2x4 pangkat 1)+(3x4 pangkat 0)
kita mendapat bilangan decimal 11 (sepuluh satu)
selain dengan basis decimal 11 (satu satu) bisa pakai basis lain
11 (satu satu)
karena angka terbesarnya 1 maka basis terdekatnya adalah 2
11 basis 2 berapakah bilangan desimalnya
dengan cara (1x2 pangkat 1)+(1x2 pangkat 0)
maka kita mendapat 3 (tiga)
karena “sendiri” maka 3 tak punya pembanding
karena tak punya pembanding maka
3 adalah 3 dalam basis 10
3 adalah 3 dalam basis 9
3 adalah 3 dalam basis 8
3 adalah 3 dalam basis 7
3 adalah 3 dalam basis 6
3 adalah 3 dalam basis 5
3 adalah 3 dalam basis 4
karena 3 maka basis terdekatnya ialah 4
ditulis sebagai 34
dalam sistem non decimal dibaca “tiga empat”
dalam sistem decimal “tigapuluh empat”
34 (tiga empat)
karena angka terbesarnya 4 maka basis terdekatnya ialah 5
34 basis 5 berapakah bilangan desimalnya
dengan cara (3x5 pangkat 1)+(4x5 pangkat 0)
kita mendapat bilangan decimal 19 (sepuluh sembilan)
19 (satu sembilan)
karena angka terbesarnya 9 maka tak ada pilihan bagi 19 (satu sembilan)
kecuali memakai basis 10
dengan cara (1x10 pangkat 1)+(9x10 pangkat 0)
kita mendapat bilangan desimal 19 (sembilanbelas)
dengan demikian maka disimpulkan bahwa dalam 43 adalah 19
Kotabaru, 21.01.2009. 10.01
HAKIMI
Hehehe, ada satu lagi nih, barangkali terpakai ...dekati/temukan dengan angka, sementara ini angka adalah yang paling jujur, 1 untuk "satu", 2 untuk "dua" dst...
Kiriman 30
Muhammad Arif Darmawan (Universitas Gadjah Mada) membalas kiriman eyangpada 10 Juni 2009 jam 17:28
@ Eyang Hakimi :
Apakah makna ditinggikan 27 derajat dalam sholat berjama'ah ?
Dan mengapa kalau berhubungan dengan pembagian2 zakat ada 1/3 dari sekian dsb.
Nampaknya 3 dan kelipatannya atau 1/3 dan kelipatannya nampaknya menjadi primadona Allah dalam firman-firmannya ?
Tampilkan 31 - 32 dari 32 kiriman dari 11 orang.
Apakah makna ditinggikan 27 derajat dalam sholat berjama'ah ?
Dan mengapa kalau berhubungan dengan pembagian2 zakat ada 1/3 dari sekian dsb.
Nampaknya 3 dan kelipatannya atau 1/3 dan kelipatannya nampaknya menjadi primadona Allah dalam firman-firmannya ?
Tampilkan 31 - 32 dari 32 kiriman dari 11 orang.
· 1
· 2
Kiriman 31
Arif Abadi menulis3 jam yang lalu
tiada titik dalam garis
tiada garis dalam bidang
tiada bidang dalam ruang
tiada ruang dalam isi
tiada isi dalam dimensi
tiada dimensi dalam kehampaan ......
tiada kehampaan dalam nilai
tiada nilai dalam aku
tiada aku dalam AKU
leburnya ke aku an dalam kehendak AKU
wujud MANUNGGAL yang SEJATI
(falsafahe wong arsitek... sak karepe dhewe)
tiada garis dalam bidang
tiada bidang dalam ruang
tiada ruang dalam isi
tiada isi dalam dimensi
tiada dimensi dalam kehampaan ......
tiada kehampaan dalam nilai
tiada nilai dalam aku
tiada aku dalam AKU
leburnya ke aku an dalam kehendak AKU
wujud MANUNGGAL yang SEJATI
(falsafahe wong arsitek... sak karepe dhewe)
Kiriman 32
Anda menulis5 detik yang lalu
TITIK adalah hakekat kesempurnaan dan tidak ada kelemahannya
APABILA TITIK sudah berubah menjadi Nol, atau satu atau dua atau ,.'l''lk;kdkfflfgg sff--------- 11234567890 dan lainnya.... maka berarti bukanlah TITIK lagi tetapi sudah menjadi hal selain titik.
Artinya titik apabila sudah berubah maka sudah memilii kelemahan, bahkan titik menjadi bak dengan huruf bii dalam laFl bismilah... ini sudah memiliki esensi nilai berubah dan kelemahan jadi bukan kesempurnaan lagi...
Artinya Esensi Tuhan Allah adalah titik apabila titik sudah berubah maka itu bukan esensi lagi tetapi MAHLUK sedang esensi titik sebagai hakekat ALLAH tetaplah titik sepanjang masa dalam kesempurnaannya. AMIN
APABILA TITIK sudah berubah menjadi Nol, atau satu atau dua atau ,.'l''lk;kdkfflfgg sff--------- 11234567890 dan lainnya.... maka berarti bukanlah TITIK lagi tetapi sudah menjadi hal selain titik.
Artinya titik apabila sudah berubah maka sudah memilii kelemahan, bahkan titik menjadi bak dengan huruf bii dalam laFl bismilah... ini sudah memiliki esensi nilai berubah dan kelemahan jadi bukan kesempurnaan lagi...
Artinya Esensi Tuhan Allah adalah titik apabila titik sudah berubah maka itu bukan esensi lagi tetapi MAHLUK sedang esensi titik sebagai hakekat ALLAH tetaplah titik sepanjang masa dalam kesempurnaannya. AMIN
Titik
BalasHapus