Tokoh
24/07/2008
Profil Jawdat Said: “Islam Yang Menghidupkan, Bukan Mematikan”
Oleh Novriantoni Kahar
Agama, bagi Said, lebih kurang sama dengan cinta. Ia tidak akan tumbuh dan mekar dengan cara-cara paksaan. Agama, sebagaimana cinta, tidak hidup dan bersemi dari represi. Ia justru tumbuh subur hijau berseri dengan adanya perbuatan baik (ihsân). Sejarah menurut Said membuktikan, para tiran yang senantiasa memaksakan kehendaknya dengan cara-cara represi akan terjerembab, dan keimanan sebagaimana kekufuran, selamanya tidak akan bisa dipaksa.
Artikel ini telah dimuat sebelumnya di majalah Madina, edisi Juli 2008
Andai lebih banyak ulama Islam seperti Jawdat Said, sebagian citra negatif tentang Islam mungkin bisa diperbaiki. Geertz Wilders tidak perlu bersusah-payah membuat kehebohan lewat filmnya yang kontroversial itu, Fitna. Islam, melalui beberapa kutipan ayat dan perilaku ulamanya, dipertontonkan Wilders sebagai agama pemaksa, terbelakang, dan masih menjadi ancaman nyata bagi dunia.
Tentu satu orang semodel ulama asal Suriah ini tidak serta-merta mampu mengubah citra. Tapi bila ada ribuan, bahkan jutaan orang seperti Said di dunia Islam, tentu efeknya akan terasa. Islam yang damai; mengajak, bukan mengancam; terbuka dan tidak memaksa; percaya diri, jauh dari intimidasi. Itulah yang selalu ditekankan ulama bersahaja jeboleh Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar, Mesir, ini dalam banyak pelatihan juru dakwah yang melibatkan dirinya.
Ulama kelahiran 1931 di Biir Ajam, wilayah dataran tinggi Golan ini, memang kredibel untuk mengajurkan itu. Rekam jejaknya sebagai pemikir Islam yang santun dan terbuka, pelopor mazhab nirkekerasan dalam dakwah dan aktivisme Islam, sudah sohor seantero tanah Arab. Lewat khutbah Jumat, pengajian umum, dan diskusi publik ataupun terbatas, Said selalu mampu berargumen dari al-Quran dan sejarah Nabi untuk menyanggah kesejukan dan kedamaian Islam. Ia pun telah menulis banyak buku yang menggambarkan ciri khas pemikirannya.
Para dai yang sempat mengikuti pelatihan dakwah bersamanya mengakui, paradigma mereka dalam berdakwah berubah setelah mendengarkan petuah-petuah Said. Bahkan, para pengunjung websitenya di http://www.jawdatsaid.net banyak yang mengaku mendapat inspirasi yang kaya tentang watak Islam yang sejuk dan damai dari transkrip khutbah dan tanya-jawab yang diasuhnya.
Bicara soal rujukan Islam yang damai dari sudut pandang ulama Timur Tengah, menjadi tidak afdal bila tidak menyebut sosok dan pemikiran Said. Saidlah orang pertama yang dengan lantang menyuarakan mazhab nirkekerasan (mazhab allâ `unf) sebagai antitesis tren kekerasan yang meningkat dalam aktivisme Islam sejak 1960-an di Mesir dan negara Arab lainnya. Manifesto dan penjelasan mazhab antikekerasan itu dituangkannya dalam buku Mazhab Ibn Âdam al-Awwal: Musykilatul `Unf fil `Amal al-Islâmy (Mazhab Anak Adam Pertama: Problem Kekerasan dalam Aktivisme Islam, 1966).
Berteladan Kepada Habil
Pada tahun 1965, Jawdat Said sempat menjadi objek tertawaan para aktivis Islam ekstrem yang sedang bergairah untuk mati syahid dengan angkat senjata. Alkisah, di suatu masjid di Mesir, dia memaklumatkan perlunya dakwah dan aktivisme Islam mengadopsi mazhab nirkekerasan ala anak Adam: Habil. Itulah yang ia harapkan menjadi arah pergerakan Islam yang ia geluti. Sebagai simpatisan Ikhwanul Muslimin sewaktu belajar di al-Azhar Mesir, ia tak tahan melihat siklus kekerasan yang menjurus ke arah lingkaran setan.
Pasalnya, di tahun 1966, kebanyakan aktivis Islam bersorak gembira dengan tragedi pembunuhan an-Naqrasyi oleh kelompok Islam bersenjata. Tapi Said tidak hanyut dalam eforia lenyapnya Perdana Menteri Mesir yang difatwa sebagai “musuh Islam” itu. Ia justu melihat tragedi itu sebagai pembunuhan tidak berdasar, aksi kriminal, awal malapetaka dan mata rantai kekerasan yang tidak berujung dalam aktivisme Islam. Baginya, kekerasan hanya akan memunculkan kekerasan lanjutan.
Benar saja, dua bulan setelah itu, pemimpin Ikhwanul Muslimin, Hassan Al-Banna, yang justru terbunuh secara misterius. Para aktivis Islam yang menjadi pemujanya, kini balik berduka dan menyumpah. Selanjutnya, berbagai bentuk kekerasan kembali muncul bagai tiada berujung. Dari situlah Said terinspirasi untuk membukukan gagasannya tentang doktrin nirkekerasan (allâ `unf), terutama karena khawatir efek Mesir merambat ke negeri asalnya, Suriah.
Tapi darimana fondasi prinsip nirkekerasan itu dilandaskan? Berkat hafal Quran, Said segera teringat kisah pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia, yaitu kisah Qabil dan Habil. Uniknya, al-Quran mengisahkan, ketika hendak dibunuh, Habil justru tidak melawan dan pasrah-menyerah. Dalam surat al-Maidah ayat 28, Habil mengatakan: “Jika engkau ayunkan tanganmu untuk membunuhku, aku tetap tidak akan mengayunkan tangan untuk membunuhmu. Aku takut akan Tuhan, penguasa semesta alam.”
Menurut Said, kisah Qabil dan Habil itu memberi makna yang dalam. Pertama, ada aspek kepasrahan total kepada Tuhan. Kedua, ada kemampuan untuk berkorban dengan jiwa sekalipun agar orang lain menemukan jalan kebenaran. Ketiga, teladan bagaimana memutus siklus kekerasan. Itu menjadi ibarat teramat penting bagi Said. Karena itu, ia berharap mazhab nirkekerasan juga menjadi bagian dari prinsip yang dianut aktivis Islam yang ketika itu sedang bergelora dalam mengobarkan perlawanan bersenjata.
Tak hanya dari al-Quran, dari sejarah para nabi pun Said mencari teladan. Ia pun terjumpa, beberapa Nabi justru menghabiskan hidup untuk berdakwah, tapi tak kunjung mendapat sambutan massa. Kebanyakan bahkan tidak sempat berkuasa agar dapat memaksakan risalah ilahi yang mereka emban. Nabi Nuh dan Isa al-Masih adalah contohnya. Sebagian nabi dan manusia agung lainnya mati terbunuh, tapi ajaran-ajaran mereka tidak menyusul ke alam baka. Said lalu membaut konklusi: kalau begitu, kebaikan akan tetap hidup; ia akan menang dengan sendirinya, walau tanpa dipaksa-paksa. Said yakin, kebenaran akan mencari jalannya sendiri untuk menang.
Monoteisme Bukan Lawan Politeisme
Selain punya argumen yang solid soal prinsip nirkekerasan dalam agama, buku Said ini juga dianggap sebagai kritik paling bernas terhadap gagasan Sayyid Quthb dalam Ma`âlim fit Tharîq (Rambu-Rambu Jalan) yang terlanjut dianggap memberi inspirasi kepada kalangan garis keras Islam Mesir untuk melakukan aksi-aksi kekerasan yang intensif di tahun 1960-an.
Said yang kini menjadi petani dan peternak lebah di Desa Qunaithiriyah, dataran tinggi Golan, juga punya beberapa gagasan yang khas dirinya. Pertama, Said lebih memaknai konsep tauhid sebagai konsep yang berkaitan dengan persoalan sosial politik, bukan melulu persoalan metafisika ketuhanan. Mengutip Muhammad Iqbal—pemikir pujangga Pakistan favoritnya selain Malik bin Nabi, pemikir reformis asal Aljazair—Said menyatakan bahwa tauhid atau monoteisme tidak selamanya berarti lawan politeisme atau paham banyaknya Tuhan.
Tauhid memang lawan dari syirik. Tapi istilah ”syirik” dimaknainya sebagai paham ketidaksetaraan antar umat manusia. Dalam paham ketidaksetaraan itu, syariat atau hukum tidak diterapkan terhadap semua orang, namun dilakukan secara tebang pilih. Artinya, ada saja sebagian orang yang ditempatkan atau secara faktual menempatkan diri di atas sentuhan hukum seperti banyak dipraktekkan para tiran sampai abad modern ini.
Bagi Said, konsep tauhid mengandung spirit pembebasan dan ikrar kesetaraan antar umat manusia di hadapan Tuhan (al-musâwat baina al-basyar). Said berargumen, sebagaimana kaum muslim awal, kaum musyrik Quraisy pun mengakui bahwa pencipta alam semesta tak lain adalah Allah. Yang berbeda, mereka tidak kunjung paham konsekuensi dari pengakuan bahwa Tuhan saja sesungguhnya Sang Penguasa itu. Mereka tidak juga mengerti bahwa jika hanya Tuhan yang unggul, maka semua manusia setara di hadapan hukum. Nabi yang berjanji akan menerapkan hukum tanpa pandang bulu terhadap anaknya Fatimah, juga akan menerapkan hukum yang seadil-adilnya terhadap selain Fatimah. Namun, gagasan itu too modern untuk dapat ditangkap pada zamannya, bahkan untuk zaman sekarang pun.
Nabi Tak Memaksa, Para Tiran Memaksa
Kedua, Said juga berpandangan, ada perbedaan yang kentara antara reformasi sosial yang dicanangkan para nabi Allah dengan yang digagas dan dijalankan para tiran. Baginya, para tiran selalu ingin menerapkan sikap Firaunik dalam reformasinya: sayalah yang berhak menghidupkan dan mematikan kalian! (anâ uhyî wa umît). Sementara para nabi berpegang pada prinsip ”saya akan membuat kehidupan, tapi tidak mematikan” (anâ uhyî wa lâ umît). Persis dengan alasan itulah Said memantapkan hati menjadi petani dan peternak lebah setelah berulang-ulang dicekal, dipenjara, dan dilarang mengajar di sekolah-sekolah negeri di Suriah.
Sejalan dengan prinsip nirkekerasan yang dianutnya, Said juga sangat terkesima dengan ayat ”tiada paksaan dalam agama”, yang termuat di dalam al-Quran. Bagi Said, seluruh peradaban umat manusia yang bergerak maju akan menganut prinsip nonpaksaan ini dalam legislasi hukum yang terkait soal-soal keyakinan dan tidak akan membenarkan kriminalisasi terhadap apa-apa yang ada di dalam pikiran dan sanubari manusia. Sejalan dengan redaksi ayat lâ ikrâh, Said pun menyimpulkan bahwa berpegang teguh kepada tauhid berarti menentang tirani (thâghut) yang lazimnya menganut prinsip paksaan dan anti-perbedaan.
Said yakin, ada rahasianya mengapa Tuhan menyebut ayat ”ayat lâ ikrâh” langsung satelah ”ayat kursiy” di dalam al-Qur’an. Baginya, ”ayat kursiy” adalah ayat yang menegaskan ”pemuliaan terhadap Tuhan” (tanzîhulLâh), sementara ”ayat lâ ikrâh” berisi pemuliaan terhadap manusia (tanzîhul insân). Ayat ini adalah ayat yang sedianya memproteksi manusia dari kesemena-menaan (al-qahr) dan persekusi atas dasar perbedaan agama dan keyakinan.
Sejarah hidup nabi Muhammad pun, bagi Said menunjukkan bahwa beliau mampu menciptakan masyarakat yang otonom dan relatif bebas dengan wujudnya pasal-pasal Piagam Madinah yang tidak mendiskriminasi siapapun karena perbedaan agama dan keyakinan. Bahkan dalam Perjanjian Hudaibiyah, Nabi tidak keberatan dengan pasal “barangsiapa yang mau ikut serta di dalam front Muhammad, silahkan masuk; dan barangsiapa yang tertarik masuk ke dalam front Quraisy silahkan turut”.
Menariknya, front Muhammad di situ tidak disebut sebagai front Islam, tapi justru dinamai front salâm atau kedamaian. Karena itu, tidak mengherankan bila di dalam surat al-Mumtahanah ayat 8, al-Quran menguatkan ketentuan yang tidak melarang umat Islam untuk senantiasa berbuat baik dan adil terhadap kalangan nonagresor dari agama manapun. Berteladan kepada Nabi, Said juga menyimpulkan bahwa ciri-ciri orang yang beriman kepada Allah adalah: menolak pemaksanaan, melindungi orang lain baik yang mukmin maupun kafir, bila mereka menerima prinsip koeksistensi yang adil dan damai di antara sesama umat manusia. Bagi Said, ajakan untuk menuju kalimat sawa di dalam al-Qur’an, secara sosiologis berarti imbauan untuk “menerima prinsip keadilan dan penyelesaian persoalan dengan cara-cara yang damai”.
Itulah nilai penting dari prinsip koeksistensi yang adil dan damai di dalam Islam. Kelompok mayoritas memberikan hak-hak minoritas secara adil. Bahkan, kalaupun mau lebih, di atas prinsip perlakuan yang adil masih terdapat nilai yang lebih mulia, yaitu al-birr (pengabdian) berdasarkan kasih sayang seperti pengabdian anak kepada orangtuanya atau sebaliknya. Itulah misi sosial utama para nabi: berlomba-lomba dalam kebajikan. Karenanya, cara paling tepat dalam meneladani para nabi tiada lain adalah dengan berlomba-lomba berbuat kebajikan, bukan berlomba-lomba membuat kecurangan dan keculasan, menebar kebencian, dan melakukan pengusiran terhadap orang lain.
Kebebasan: Refleksi Kepercayaan Diri
Ada juga beberapa kritik terhadap keukeh-nya Said berpegang para prinsip nonpaksaan dalam soal agama. Sebagian orang berpendapat ia seorang yang naif. Jika agama yang dianggap mengandung nilai-nilai kebajikan tidak dipaksakan, maka penyimpangan-penyimpangan akan berkembang dan moral yang terkandung dalam ajaran agama akan menguap. Said menampik kritikan itu. Baginya, berpegang teguh kepada prinsip nonpaksaan justru mencerminkan rasa percaya diri yang tinggi; bahwa agama atau kebenaran yang sedang kita anut dan genggam adalah agama yang benar dan sesuai dengan fitrah manusia.
Prinsip ini pun dianggapnya menunjukkan optimisme terhadap kemampuan dan kedewasaan umat manusia untuk dapat membedakan sesuatu yang benar dan yang salah. Al-Qur’an pun, dalam terusan ayat lâ ikrâh menyatakan kentaranya perbedaan antara kedewasaan (al-rusyd) dengan kekanak-kanakan dalam cara beragama (al-ghay). Bagi Said, para juru dakwah agama yang tidak percaya akan kedewasaan masyarakat manusia, sejak menit pertama telah kehilangan modal dasar dalam berdakwah.
Bagi Said, justru dengan berpegang pada prinsip nonpaksaan dalam agama itulah kreativitas untuk mencari alternatif-alternatif dalam berpersuasi (misalnya dalam mencari formula syiar agama) dimungkinkan. Pemaksaan, apalagi dengan cara-cara kekerasan, bagi Said hanya perkerjaan sia-sia jika yang sesungguhnya ingin dicapai adalah pengamalan dan penghayatan agama yang sejati.
Agama, bagi Said, lebih kurang sama dengan cinta. Ia tidak akan tumbuh dan mekar dengan cara-cara paksaan. Agama, sebagaimana cinta, tidak hidup dan bersemi dari represi. Ia justru tumbuh subur hijau berseri dengan adanya perbuatan baik (ihsân). Sejarah menurut Said membuktikan, para tiran yang senantiasa memaksakan kehendaknya dengan cara-cara represi akan terjerembab, dan keimanan sebagaimana kekufuran, selamanya tidak akan bisa dipaksa.
Bahkan, Nabi pun pernah mengutarakan rasa salutnya terhadap Raja Negus dari Abbisinia yang tidak menyiksa orang-orang yang tidak sekeyakinan dengannya (lihat wawancara dengan Said: Nabi Adalah Pengagum Raja Abbisinia). Said akhirnya membuktikan, di masanya yang tidak jaya sekalipun, Islam tidak surut dan mengkerut walau tidak berkolaborasi dengan kekuatan pemaksa yang digdaya.
Karena itu, prinsip nonpaksaan dalam agama bagi Said menjadi dasar yang menafikan bentuk paksaan dalam aspek lainnya. Ia bersifat nafyul jins (menafikan semua bentuk dan jenis pemaksaan), baik dalam soal agama, maupun dalam soal sosial politik lainnya. Para khalifah yang empat pun dinamakan sebagai khulafâ al-râsyidîn karena mereka naik ke tampuk kekuasaan tanpa ada paksaan. Karena itu pulalah khalifah-khalifah Islam selanjutnya tidak dinamakan al-râsyidin.
Konversi Agama Tidak Mengapa
Kritikus Said selanjutnya menyanggah argumen nonpaskaan Said dengan hasis Nabi yang menganjurkan hukum bunuh atas orang yang berpaling dari agama. Hadis itu menyatakan, ”barangsiapa yang berpaling dari agamanya, bunuhlah ia!” Menurut Said, di masa Perjanjian Hudaibiyah, pun nabi tidak meminta orang-orang Islam yang berpaling ke front musyrik Quraiys untuk dibunuh. Populer dan luasnya keyakinan soal perlunya membunuh orang yang berpaling dari agama ini, bagi Said tidak membuatnya benar. Betapa banyak hal-hal dianut secara luas tapi sesungguhnya tidak benar alias salah kaprah. Hadis ini, bagi Said tidak bertentangan dengan ayat la ikrâh.
Pertama, kalau berpegang pada prinsip bahwa ”ketentuan hadis tidak dapat menasakh Quran”, perkaranya langsung jelas dan sudah selesai, yaitu tiada paksaan dalam soal agama. Kedua, kalau pun hadis ini diakui ada dan sahih, ia pun harus ditakwilkan lebih dulu agar tidak berbenturan dengan ketentuan al-Quran. Jika tidak, mestinya ia pun bisa berlaku bagi orang-orang yang masuk Islam (berpaling dari agama lain). Said pun membuat hipotesis ini: jangan-jangan, hadis ini justru berbicara soal orang yang hanya main-main dalam praktik pindah agama.
Lalu bagaimana menafsirkan perang murtad (harbur riddah) yang dilancarkan Abu Bakar terhadap para pembelot di masanya? Said berpendapat, itu tidak dapat disebut sebagai pembunuhan (al-qatl), tapi lebih tepat disebut peperangan (al-qitâl) terhadap orang-orang yang ingin mengakhiri karir Islam, mengepung Madinah, dan menyerangnya. Ini lebih berkaitan dengan soal separatisme! Ulama Islam pun sepakat, qitâl tidaklah sama dengan qatl.
Hukum duniawi bagi orang yang murtad, sebagaimana diutarakan Alquran tidaklah dijumpai. Mereka hanya ditunggu Tuhan di akhirat kelak. Dan kalau seluruh penghuni dunia menganut prinsip “orang murtad harus dihukum bunuh”, kata Said, orang Islam harus lantang berterikan: bagi kami tidak! Islam tidak dirugikan sekecil biji zarah pun oleh orang-orang yang murtad, tapi justru merugi besar jika menerapkan hukum yang bertantangan dengan semangat al-Quran itu. Sebab, dengan begitu, kesannya orang tetap menganut Islam hanya karena takut dibunuh. Islam akan tetap dicitrakan sebagai agama pemaksa, terbelakang, dan ancaman terhadap perdamaian dunia. Itulah yang tidak diinginkan ulama bersahaja asal Suriah ini. []
--------------------------------------------------------------------------
Wawancara dengan Jaudat Said “Nabi Adalah Pengagum Raja Abbisinia”
Apa pendapat Said tentang kultur kekerasan, fundamentalisme, dan dampaknya terhadap perkembangan suatu masyarakat dan bangsa? Berikut petikan wawancaranya dari berbagai sumber.
Anda dikenal sebagai pemikir Islam yang gigih memperjuangkan prinsip nirkekerasan dan nonpaksaan dalam masyarakat Islam. Mengapa?
Pemaksaan, apalagi dengan kekerasan, tak akan pernah melahirkan iman yang benar. Menyandu kepada kultur pemaksaan dan kekerasan akan selalu menjadi penyebab keterbelakanan. Namun sampai kini, kita masih saja terobsesi untuk melenyapkan orang lain, sampaipun sesama Muslim yang berbeda pandangan dengan kita. Kita mengabaikan pendapat mereka dan menggunakan cara-cara intimidasi dan teror terhadap mereka. Pertarungan kita melawan akal-budi pun tak pernah berhenti. Ini memang bukan barang baru dalam kultur kita. Karena itu, tidak mengherankan jika akal pikiran kita membeku dan tak kunjung mampu berkembang. Kita selalu bergairah menghidupkan kultur paksaan, bukan persuasi, baik dalam bidang politik maupun agama.
Padahal, jika Tuhan sendiri sangsi agamanya akan kalah dan punah (tanpa adanya kekuatan pemaksa), Dia pasti tak akan memfirmankan ayat “tiada paksaan dalam soal agama.” Apa yang kita alami saat ini adalah kebutaan mata-hati. Saya merasakan, kultur paksaan itulah yang senantiasa menghasilkan berbagai kekerasan dan terorisme di dalam masyarakat Islam. Dari semangat itulah lahir Saddam Husein, Taliban, dan milisi-milisi bersenjata. Mereka terlahir dari iklim belajar fikih dengan cara-cara terbelakang: memaksakan kebenaran pendapat dengan unjuk kekuatan, intimidasi, dan penghalalan darah orang yang berbeda dengan mereka.
Adakah teladan dari sejarah Rasul tentang prinsip nonpaksaan dalam soal politik dan agama?
Nabi yang mulia itu pernah diintimidasi, ditindas, dianiaya. Para kerabatnya pun banyak yang terluka dan terbunuh. Tapi ketika menaklukkan Mekah, beliau memberi amnesti kepada semua. “Pergilah berlalu! Kalian semua bebas,” tegasnya. Ia tidak memaksa sorang pun untuk memeluk Islam. Dia pun tidak melakukan tipu daya atau taktik intimidasi dan penganiayaan terhadap mereka yang tetap musyrik. Bahkan, Nabi pernah mengutarakan rasa takjubnya kepada raja Abbisinia yang tidak melancarkan penindasan terhadap kelompok-kelompok yang tidak sekeyakinan dengannya. Beliau mengatakan, “Di Abisinia hidup seorang raja yang tidak menyakiti orang yang tidak sekeyakinan dengannya.” Itulah teladan Nabi dalam menghadapi perbedaan paling fundamental sekalipun dalam hidup ini. Tapi sampai hari ini, kita masih tidak bisa hidup tanpa kudeta dan pertumpahan darah. Ini menandakan bahwa kita tidak pernah mengambil pelajaran dari sejarah.
Mengapa Anda begitu bersemangat memperjuangkan prinsip nonpaksaan?
Karena tidak mungkin ada suatu masyarakat yang dapat berkembang secara sehat dalam kultur paksaan yang berkembang subur. Prinsip paksaan itu bukan bagian dari Islam. Yang menjadi bagian dari Islam adalah prinsip nonpaksaan (lâ ikrâh). Nabi Muhammad senantiasa berdialog dan bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam semua hal. Tapi ironisnya, sampai kini pun kita tetap menghidupkan kultur paksaan. Selama kita selalu meremehkan pendapat orang lain, selama itu pula kita tak akan pernah bisa menghargai akal-budi. Akibatnya, kita tidak akan pernah bisa berprestasi dalam semua aspek.
Mengapa Anda menghubungkan pertumbuhan fundamentalisme dengan dominannya kultur pemaksaan?
Karena itulah yang sebenarnya terjadi. Kultur paksaan itu memang begitu dominan, tidak hanya dalam dunia politik tapi juga dalam gerakan-gerakan fundamentalisme agama. Dalam dunia politik kita menjumpai, setiap kali seorang diktator tumbang, akan muncul diktator lain sebagai pengganti. Gerakan fundamentalisme agama juga begitu: menginginkan perubahan dan pergantian kekuasaan dengan cara-cara paksaan dan kekuatan bersenjata. Karena itu, yang terjadi hanyalah siklus balas dendam dan jatuhnya korban di kedua belah pihak, baik yang ditumbangkan maupun yang menumbangkan.
Saya berpendapat, jika kelompok-kelompok fundamentalis itu punya kesempatan berkuasa, mereka pasti akan menerapkan kultur paksaan dengan sempurna. Saya menyayangkan di dalam masyarakat kita masih begitu dominan kultur ini. Kita sukses besar membunuh kekuatan nalar dan kreativitas. Kita tidak memahami ruh Islam dan semangat demokrasi yang terkandung dalam banyak ayatnya. Karena itu, saya berpendapat bukan Barat yang menciptakan kelompok-kelompok bersenjata di negeri kita, tapi mereka justru lahir dari kultur paksaan di semua aspek yang masih dominan. Saya terkadang merasa masih terlalu banyak umat Islam yang menjadi kaum neo-Khawarij yang seolah-olah berbangga membunuh Ali untuk dipersembahkan sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah. []
24/07/2008 | Tokoh | #
24/07/2008
Profil Jawdat Said: “Islam Yang Menghidupkan, Bukan Mematikan”
Oleh Novriantoni Kahar
Agama, bagi Said, lebih kurang sama dengan cinta. Ia tidak akan tumbuh dan mekar dengan cara-cara paksaan. Agama, sebagaimana cinta, tidak hidup dan bersemi dari represi. Ia justru tumbuh subur hijau berseri dengan adanya perbuatan baik (ihsân). Sejarah menurut Said membuktikan, para tiran yang senantiasa memaksakan kehendaknya dengan cara-cara represi akan terjerembab, dan keimanan sebagaimana kekufuran, selamanya tidak akan bisa dipaksa.
Artikel ini telah dimuat sebelumnya di majalah Madina, edisi Juli 2008
Andai lebih banyak ulama Islam seperti Jawdat Said, sebagian citra negatif tentang Islam mungkin bisa diperbaiki. Geertz Wilders tidak perlu bersusah-payah membuat kehebohan lewat filmnya yang kontroversial itu, Fitna. Islam, melalui beberapa kutipan ayat dan perilaku ulamanya, dipertontonkan Wilders sebagai agama pemaksa, terbelakang, dan masih menjadi ancaman nyata bagi dunia.
Tentu satu orang semodel ulama asal Suriah ini tidak serta-merta mampu mengubah citra. Tapi bila ada ribuan, bahkan jutaan orang seperti Said di dunia Islam, tentu efeknya akan terasa. Islam yang damai; mengajak, bukan mengancam; terbuka dan tidak memaksa; percaya diri, jauh dari intimidasi. Itulah yang selalu ditekankan ulama bersahaja jeboleh Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar, Mesir, ini dalam banyak pelatihan juru dakwah yang melibatkan dirinya.
Ulama kelahiran 1931 di Biir Ajam, wilayah dataran tinggi Golan ini, memang kredibel untuk mengajurkan itu. Rekam jejaknya sebagai pemikir Islam yang santun dan terbuka, pelopor mazhab nirkekerasan dalam dakwah dan aktivisme Islam, sudah sohor seantero tanah Arab. Lewat khutbah Jumat, pengajian umum, dan diskusi publik ataupun terbatas, Said selalu mampu berargumen dari al-Quran dan sejarah Nabi untuk menyanggah kesejukan dan kedamaian Islam. Ia pun telah menulis banyak buku yang menggambarkan ciri khas pemikirannya.
Para dai yang sempat mengikuti pelatihan dakwah bersamanya mengakui, paradigma mereka dalam berdakwah berubah setelah mendengarkan petuah-petuah Said. Bahkan, para pengunjung websitenya di http://www.jawdatsaid.net banyak yang mengaku mendapat inspirasi yang kaya tentang watak Islam yang sejuk dan damai dari transkrip khutbah dan tanya-jawab yang diasuhnya.
Bicara soal rujukan Islam yang damai dari sudut pandang ulama Timur Tengah, menjadi tidak afdal bila tidak menyebut sosok dan pemikiran Said. Saidlah orang pertama yang dengan lantang menyuarakan mazhab nirkekerasan (mazhab allâ `unf) sebagai antitesis tren kekerasan yang meningkat dalam aktivisme Islam sejak 1960-an di Mesir dan negara Arab lainnya. Manifesto dan penjelasan mazhab antikekerasan itu dituangkannya dalam buku Mazhab Ibn Âdam al-Awwal: Musykilatul `Unf fil `Amal al-Islâmy (Mazhab Anak Adam Pertama: Problem Kekerasan dalam Aktivisme Islam, 1966).
Berteladan Kepada Habil
Pada tahun 1965, Jawdat Said sempat menjadi objek tertawaan para aktivis Islam ekstrem yang sedang bergairah untuk mati syahid dengan angkat senjata. Alkisah, di suatu masjid di Mesir, dia memaklumatkan perlunya dakwah dan aktivisme Islam mengadopsi mazhab nirkekerasan ala anak Adam: Habil. Itulah yang ia harapkan menjadi arah pergerakan Islam yang ia geluti. Sebagai simpatisan Ikhwanul Muslimin sewaktu belajar di al-Azhar Mesir, ia tak tahan melihat siklus kekerasan yang menjurus ke arah lingkaran setan.
Pasalnya, di tahun 1966, kebanyakan aktivis Islam bersorak gembira dengan tragedi pembunuhan an-Naqrasyi oleh kelompok Islam bersenjata. Tapi Said tidak hanyut dalam eforia lenyapnya Perdana Menteri Mesir yang difatwa sebagai “musuh Islam” itu. Ia justu melihat tragedi itu sebagai pembunuhan tidak berdasar, aksi kriminal, awal malapetaka dan mata rantai kekerasan yang tidak berujung dalam aktivisme Islam. Baginya, kekerasan hanya akan memunculkan kekerasan lanjutan.
Benar saja, dua bulan setelah itu, pemimpin Ikhwanul Muslimin, Hassan Al-Banna, yang justru terbunuh secara misterius. Para aktivis Islam yang menjadi pemujanya, kini balik berduka dan menyumpah. Selanjutnya, berbagai bentuk kekerasan kembali muncul bagai tiada berujung. Dari situlah Said terinspirasi untuk membukukan gagasannya tentang doktrin nirkekerasan (allâ `unf), terutama karena khawatir efek Mesir merambat ke negeri asalnya, Suriah.
Tapi darimana fondasi prinsip nirkekerasan itu dilandaskan? Berkat hafal Quran, Said segera teringat kisah pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia, yaitu kisah Qabil dan Habil. Uniknya, al-Quran mengisahkan, ketika hendak dibunuh, Habil justru tidak melawan dan pasrah-menyerah. Dalam surat al-Maidah ayat 28, Habil mengatakan: “Jika engkau ayunkan tanganmu untuk membunuhku, aku tetap tidak akan mengayunkan tangan untuk membunuhmu. Aku takut akan Tuhan, penguasa semesta alam.”
Menurut Said, kisah Qabil dan Habil itu memberi makna yang dalam. Pertama, ada aspek kepasrahan total kepada Tuhan. Kedua, ada kemampuan untuk berkorban dengan jiwa sekalipun agar orang lain menemukan jalan kebenaran. Ketiga, teladan bagaimana memutus siklus kekerasan. Itu menjadi ibarat teramat penting bagi Said. Karena itu, ia berharap mazhab nirkekerasan juga menjadi bagian dari prinsip yang dianut aktivis Islam yang ketika itu sedang bergelora dalam mengobarkan perlawanan bersenjata.
Tak hanya dari al-Quran, dari sejarah para nabi pun Said mencari teladan. Ia pun terjumpa, beberapa Nabi justru menghabiskan hidup untuk berdakwah, tapi tak kunjung mendapat sambutan massa. Kebanyakan bahkan tidak sempat berkuasa agar dapat memaksakan risalah ilahi yang mereka emban. Nabi Nuh dan Isa al-Masih adalah contohnya. Sebagian nabi dan manusia agung lainnya mati terbunuh, tapi ajaran-ajaran mereka tidak menyusul ke alam baka. Said lalu membaut konklusi: kalau begitu, kebaikan akan tetap hidup; ia akan menang dengan sendirinya, walau tanpa dipaksa-paksa. Said yakin, kebenaran akan mencari jalannya sendiri untuk menang.
Monoteisme Bukan Lawan Politeisme
Selain punya argumen yang solid soal prinsip nirkekerasan dalam agama, buku Said ini juga dianggap sebagai kritik paling bernas terhadap gagasan Sayyid Quthb dalam Ma`âlim fit Tharîq (Rambu-Rambu Jalan) yang terlanjut dianggap memberi inspirasi kepada kalangan garis keras Islam Mesir untuk melakukan aksi-aksi kekerasan yang intensif di tahun 1960-an.
Said yang kini menjadi petani dan peternak lebah di Desa Qunaithiriyah, dataran tinggi Golan, juga punya beberapa gagasan yang khas dirinya. Pertama, Said lebih memaknai konsep tauhid sebagai konsep yang berkaitan dengan persoalan sosial politik, bukan melulu persoalan metafisika ketuhanan. Mengutip Muhammad Iqbal—pemikir pujangga Pakistan favoritnya selain Malik bin Nabi, pemikir reformis asal Aljazair—Said menyatakan bahwa tauhid atau monoteisme tidak selamanya berarti lawan politeisme atau paham banyaknya Tuhan.
Tauhid memang lawan dari syirik. Tapi istilah ”syirik” dimaknainya sebagai paham ketidaksetaraan antar umat manusia. Dalam paham ketidaksetaraan itu, syariat atau hukum tidak diterapkan terhadap semua orang, namun dilakukan secara tebang pilih. Artinya, ada saja sebagian orang yang ditempatkan atau secara faktual menempatkan diri di atas sentuhan hukum seperti banyak dipraktekkan para tiran sampai abad modern ini.
Bagi Said, konsep tauhid mengandung spirit pembebasan dan ikrar kesetaraan antar umat manusia di hadapan Tuhan (al-musâwat baina al-basyar). Said berargumen, sebagaimana kaum muslim awal, kaum musyrik Quraisy pun mengakui bahwa pencipta alam semesta tak lain adalah Allah. Yang berbeda, mereka tidak kunjung paham konsekuensi dari pengakuan bahwa Tuhan saja sesungguhnya Sang Penguasa itu. Mereka tidak juga mengerti bahwa jika hanya Tuhan yang unggul, maka semua manusia setara di hadapan hukum. Nabi yang berjanji akan menerapkan hukum tanpa pandang bulu terhadap anaknya Fatimah, juga akan menerapkan hukum yang seadil-adilnya terhadap selain Fatimah. Namun, gagasan itu too modern untuk dapat ditangkap pada zamannya, bahkan untuk zaman sekarang pun.
Nabi Tak Memaksa, Para Tiran Memaksa
Kedua, Said juga berpandangan, ada perbedaan yang kentara antara reformasi sosial yang dicanangkan para nabi Allah dengan yang digagas dan dijalankan para tiran. Baginya, para tiran selalu ingin menerapkan sikap Firaunik dalam reformasinya: sayalah yang berhak menghidupkan dan mematikan kalian! (anâ uhyî wa umît). Sementara para nabi berpegang pada prinsip ”saya akan membuat kehidupan, tapi tidak mematikan” (anâ uhyî wa lâ umît). Persis dengan alasan itulah Said memantapkan hati menjadi petani dan peternak lebah setelah berulang-ulang dicekal, dipenjara, dan dilarang mengajar di sekolah-sekolah negeri di Suriah.
Sejalan dengan prinsip nirkekerasan yang dianutnya, Said juga sangat terkesima dengan ayat ”tiada paksaan dalam agama”, yang termuat di dalam al-Quran. Bagi Said, seluruh peradaban umat manusia yang bergerak maju akan menganut prinsip nonpaksaan ini dalam legislasi hukum yang terkait soal-soal keyakinan dan tidak akan membenarkan kriminalisasi terhadap apa-apa yang ada di dalam pikiran dan sanubari manusia. Sejalan dengan redaksi ayat lâ ikrâh, Said pun menyimpulkan bahwa berpegang teguh kepada tauhid berarti menentang tirani (thâghut) yang lazimnya menganut prinsip paksaan dan anti-perbedaan.
Said yakin, ada rahasianya mengapa Tuhan menyebut ayat ”ayat lâ ikrâh” langsung satelah ”ayat kursiy” di dalam al-Qur’an. Baginya, ”ayat kursiy” adalah ayat yang menegaskan ”pemuliaan terhadap Tuhan” (tanzîhulLâh), sementara ”ayat lâ ikrâh” berisi pemuliaan terhadap manusia (tanzîhul insân). Ayat ini adalah ayat yang sedianya memproteksi manusia dari kesemena-menaan (al-qahr) dan persekusi atas dasar perbedaan agama dan keyakinan.
Sejarah hidup nabi Muhammad pun, bagi Said menunjukkan bahwa beliau mampu menciptakan masyarakat yang otonom dan relatif bebas dengan wujudnya pasal-pasal Piagam Madinah yang tidak mendiskriminasi siapapun karena perbedaan agama dan keyakinan. Bahkan dalam Perjanjian Hudaibiyah, Nabi tidak keberatan dengan pasal “barangsiapa yang mau ikut serta di dalam front Muhammad, silahkan masuk; dan barangsiapa yang tertarik masuk ke dalam front Quraisy silahkan turut”.
Menariknya, front Muhammad di situ tidak disebut sebagai front Islam, tapi justru dinamai front salâm atau kedamaian. Karena itu, tidak mengherankan bila di dalam surat al-Mumtahanah ayat 8, al-Quran menguatkan ketentuan yang tidak melarang umat Islam untuk senantiasa berbuat baik dan adil terhadap kalangan nonagresor dari agama manapun. Berteladan kepada Nabi, Said juga menyimpulkan bahwa ciri-ciri orang yang beriman kepada Allah adalah: menolak pemaksanaan, melindungi orang lain baik yang mukmin maupun kafir, bila mereka menerima prinsip koeksistensi yang adil dan damai di antara sesama umat manusia. Bagi Said, ajakan untuk menuju kalimat sawa di dalam al-Qur’an, secara sosiologis berarti imbauan untuk “menerima prinsip keadilan dan penyelesaian persoalan dengan cara-cara yang damai”.
Itulah nilai penting dari prinsip koeksistensi yang adil dan damai di dalam Islam. Kelompok mayoritas memberikan hak-hak minoritas secara adil. Bahkan, kalaupun mau lebih, di atas prinsip perlakuan yang adil masih terdapat nilai yang lebih mulia, yaitu al-birr (pengabdian) berdasarkan kasih sayang seperti pengabdian anak kepada orangtuanya atau sebaliknya. Itulah misi sosial utama para nabi: berlomba-lomba dalam kebajikan. Karenanya, cara paling tepat dalam meneladani para nabi tiada lain adalah dengan berlomba-lomba berbuat kebajikan, bukan berlomba-lomba membuat kecurangan dan keculasan, menebar kebencian, dan melakukan pengusiran terhadap orang lain.
Kebebasan: Refleksi Kepercayaan Diri
Ada juga beberapa kritik terhadap keukeh-nya Said berpegang para prinsip nonpaksaan dalam soal agama. Sebagian orang berpendapat ia seorang yang naif. Jika agama yang dianggap mengandung nilai-nilai kebajikan tidak dipaksakan, maka penyimpangan-penyimpangan akan berkembang dan moral yang terkandung dalam ajaran agama akan menguap. Said menampik kritikan itu. Baginya, berpegang teguh kepada prinsip nonpaksaan justru mencerminkan rasa percaya diri yang tinggi; bahwa agama atau kebenaran yang sedang kita anut dan genggam adalah agama yang benar dan sesuai dengan fitrah manusia.
Prinsip ini pun dianggapnya menunjukkan optimisme terhadap kemampuan dan kedewasaan umat manusia untuk dapat membedakan sesuatu yang benar dan yang salah. Al-Qur’an pun, dalam terusan ayat lâ ikrâh menyatakan kentaranya perbedaan antara kedewasaan (al-rusyd) dengan kekanak-kanakan dalam cara beragama (al-ghay). Bagi Said, para juru dakwah agama yang tidak percaya akan kedewasaan masyarakat manusia, sejak menit pertama telah kehilangan modal dasar dalam berdakwah.
Bagi Said, justru dengan berpegang pada prinsip nonpaksaan dalam agama itulah kreativitas untuk mencari alternatif-alternatif dalam berpersuasi (misalnya dalam mencari formula syiar agama) dimungkinkan. Pemaksaan, apalagi dengan cara-cara kekerasan, bagi Said hanya perkerjaan sia-sia jika yang sesungguhnya ingin dicapai adalah pengamalan dan penghayatan agama yang sejati.
Agama, bagi Said, lebih kurang sama dengan cinta. Ia tidak akan tumbuh dan mekar dengan cara-cara paksaan. Agama, sebagaimana cinta, tidak hidup dan bersemi dari represi. Ia justru tumbuh subur hijau berseri dengan adanya perbuatan baik (ihsân). Sejarah menurut Said membuktikan, para tiran yang senantiasa memaksakan kehendaknya dengan cara-cara represi akan terjerembab, dan keimanan sebagaimana kekufuran, selamanya tidak akan bisa dipaksa.
Bahkan, Nabi pun pernah mengutarakan rasa salutnya terhadap Raja Negus dari Abbisinia yang tidak menyiksa orang-orang yang tidak sekeyakinan dengannya (lihat wawancara dengan Said: Nabi Adalah Pengagum Raja Abbisinia). Said akhirnya membuktikan, di masanya yang tidak jaya sekalipun, Islam tidak surut dan mengkerut walau tidak berkolaborasi dengan kekuatan pemaksa yang digdaya.
Karena itu, prinsip nonpaksaan dalam agama bagi Said menjadi dasar yang menafikan bentuk paksaan dalam aspek lainnya. Ia bersifat nafyul jins (menafikan semua bentuk dan jenis pemaksaan), baik dalam soal agama, maupun dalam soal sosial politik lainnya. Para khalifah yang empat pun dinamakan sebagai khulafâ al-râsyidîn karena mereka naik ke tampuk kekuasaan tanpa ada paksaan. Karena itu pulalah khalifah-khalifah Islam selanjutnya tidak dinamakan al-râsyidin.
Konversi Agama Tidak Mengapa
Kritikus Said selanjutnya menyanggah argumen nonpaskaan Said dengan hasis Nabi yang menganjurkan hukum bunuh atas orang yang berpaling dari agama. Hadis itu menyatakan, ”barangsiapa yang berpaling dari agamanya, bunuhlah ia!” Menurut Said, di masa Perjanjian Hudaibiyah, pun nabi tidak meminta orang-orang Islam yang berpaling ke front musyrik Quraiys untuk dibunuh. Populer dan luasnya keyakinan soal perlunya membunuh orang yang berpaling dari agama ini, bagi Said tidak membuatnya benar. Betapa banyak hal-hal dianut secara luas tapi sesungguhnya tidak benar alias salah kaprah. Hadis ini, bagi Said tidak bertentangan dengan ayat la ikrâh.
Pertama, kalau berpegang pada prinsip bahwa ”ketentuan hadis tidak dapat menasakh Quran”, perkaranya langsung jelas dan sudah selesai, yaitu tiada paksaan dalam soal agama. Kedua, kalau pun hadis ini diakui ada dan sahih, ia pun harus ditakwilkan lebih dulu agar tidak berbenturan dengan ketentuan al-Quran. Jika tidak, mestinya ia pun bisa berlaku bagi orang-orang yang masuk Islam (berpaling dari agama lain). Said pun membuat hipotesis ini: jangan-jangan, hadis ini justru berbicara soal orang yang hanya main-main dalam praktik pindah agama.
Lalu bagaimana menafsirkan perang murtad (harbur riddah) yang dilancarkan Abu Bakar terhadap para pembelot di masanya? Said berpendapat, itu tidak dapat disebut sebagai pembunuhan (al-qatl), tapi lebih tepat disebut peperangan (al-qitâl) terhadap orang-orang yang ingin mengakhiri karir Islam, mengepung Madinah, dan menyerangnya. Ini lebih berkaitan dengan soal separatisme! Ulama Islam pun sepakat, qitâl tidaklah sama dengan qatl.
Hukum duniawi bagi orang yang murtad, sebagaimana diutarakan Alquran tidaklah dijumpai. Mereka hanya ditunggu Tuhan di akhirat kelak. Dan kalau seluruh penghuni dunia menganut prinsip “orang murtad harus dihukum bunuh”, kata Said, orang Islam harus lantang berterikan: bagi kami tidak! Islam tidak dirugikan sekecil biji zarah pun oleh orang-orang yang murtad, tapi justru merugi besar jika menerapkan hukum yang bertantangan dengan semangat al-Quran itu. Sebab, dengan begitu, kesannya orang tetap menganut Islam hanya karena takut dibunuh. Islam akan tetap dicitrakan sebagai agama pemaksa, terbelakang, dan ancaman terhadap perdamaian dunia. Itulah yang tidak diinginkan ulama bersahaja asal Suriah ini. []
--------------------------------------------------------------------------
Wawancara dengan Jaudat Said “Nabi Adalah Pengagum Raja Abbisinia”
Apa pendapat Said tentang kultur kekerasan, fundamentalisme, dan dampaknya terhadap perkembangan suatu masyarakat dan bangsa? Berikut petikan wawancaranya dari berbagai sumber.
Anda dikenal sebagai pemikir Islam yang gigih memperjuangkan prinsip nirkekerasan dan nonpaksaan dalam masyarakat Islam. Mengapa?
Pemaksaan, apalagi dengan kekerasan, tak akan pernah melahirkan iman yang benar. Menyandu kepada kultur pemaksaan dan kekerasan akan selalu menjadi penyebab keterbelakanan. Namun sampai kini, kita masih saja terobsesi untuk melenyapkan orang lain, sampaipun sesama Muslim yang berbeda pandangan dengan kita. Kita mengabaikan pendapat mereka dan menggunakan cara-cara intimidasi dan teror terhadap mereka. Pertarungan kita melawan akal-budi pun tak pernah berhenti. Ini memang bukan barang baru dalam kultur kita. Karena itu, tidak mengherankan jika akal pikiran kita membeku dan tak kunjung mampu berkembang. Kita selalu bergairah menghidupkan kultur paksaan, bukan persuasi, baik dalam bidang politik maupun agama.
Padahal, jika Tuhan sendiri sangsi agamanya akan kalah dan punah (tanpa adanya kekuatan pemaksa), Dia pasti tak akan memfirmankan ayat “tiada paksaan dalam soal agama.” Apa yang kita alami saat ini adalah kebutaan mata-hati. Saya merasakan, kultur paksaan itulah yang senantiasa menghasilkan berbagai kekerasan dan terorisme di dalam masyarakat Islam. Dari semangat itulah lahir Saddam Husein, Taliban, dan milisi-milisi bersenjata. Mereka terlahir dari iklim belajar fikih dengan cara-cara terbelakang: memaksakan kebenaran pendapat dengan unjuk kekuatan, intimidasi, dan penghalalan darah orang yang berbeda dengan mereka.
Adakah teladan dari sejarah Rasul tentang prinsip nonpaksaan dalam soal politik dan agama?
Nabi yang mulia itu pernah diintimidasi, ditindas, dianiaya. Para kerabatnya pun banyak yang terluka dan terbunuh. Tapi ketika menaklukkan Mekah, beliau memberi amnesti kepada semua. “Pergilah berlalu! Kalian semua bebas,” tegasnya. Ia tidak memaksa sorang pun untuk memeluk Islam. Dia pun tidak melakukan tipu daya atau taktik intimidasi dan penganiayaan terhadap mereka yang tetap musyrik. Bahkan, Nabi pernah mengutarakan rasa takjubnya kepada raja Abbisinia yang tidak melancarkan penindasan terhadap kelompok-kelompok yang tidak sekeyakinan dengannya. Beliau mengatakan, “Di Abisinia hidup seorang raja yang tidak menyakiti orang yang tidak sekeyakinan dengannya.” Itulah teladan Nabi dalam menghadapi perbedaan paling fundamental sekalipun dalam hidup ini. Tapi sampai hari ini, kita masih tidak bisa hidup tanpa kudeta dan pertumpahan darah. Ini menandakan bahwa kita tidak pernah mengambil pelajaran dari sejarah.
Mengapa Anda begitu bersemangat memperjuangkan prinsip nonpaksaan?
Karena tidak mungkin ada suatu masyarakat yang dapat berkembang secara sehat dalam kultur paksaan yang berkembang subur. Prinsip paksaan itu bukan bagian dari Islam. Yang menjadi bagian dari Islam adalah prinsip nonpaksaan (lâ ikrâh). Nabi Muhammad senantiasa berdialog dan bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam semua hal. Tapi ironisnya, sampai kini pun kita tetap menghidupkan kultur paksaan. Selama kita selalu meremehkan pendapat orang lain, selama itu pula kita tak akan pernah bisa menghargai akal-budi. Akibatnya, kita tidak akan pernah bisa berprestasi dalam semua aspek.
Mengapa Anda menghubungkan pertumbuhan fundamentalisme dengan dominannya kultur pemaksaan?
Karena itulah yang sebenarnya terjadi. Kultur paksaan itu memang begitu dominan, tidak hanya dalam dunia politik tapi juga dalam gerakan-gerakan fundamentalisme agama. Dalam dunia politik kita menjumpai, setiap kali seorang diktator tumbang, akan muncul diktator lain sebagai pengganti. Gerakan fundamentalisme agama juga begitu: menginginkan perubahan dan pergantian kekuasaan dengan cara-cara paksaan dan kekuatan bersenjata. Karena itu, yang terjadi hanyalah siklus balas dendam dan jatuhnya korban di kedua belah pihak, baik yang ditumbangkan maupun yang menumbangkan.
Saya berpendapat, jika kelompok-kelompok fundamentalis itu punya kesempatan berkuasa, mereka pasti akan menerapkan kultur paksaan dengan sempurna. Saya menyayangkan di dalam masyarakat kita masih begitu dominan kultur ini. Kita sukses besar membunuh kekuatan nalar dan kreativitas. Kita tidak memahami ruh Islam dan semangat demokrasi yang terkandung dalam banyak ayatnya. Karena itu, saya berpendapat bukan Barat yang menciptakan kelompok-kelompok bersenjata di negeri kita, tapi mereka justru lahir dari kultur paksaan di semua aspek yang masih dominan. Saya terkadang merasa masih terlalu banyak umat Islam yang menjadi kaum neo-Khawarij yang seolah-olah berbangga membunuh Ali untuk dipersembahkan sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah. []
24/07/2008 | Tokoh | #
0 Tanggapan:
Posting Komentar