Tokoh
12/01/2004
Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1791)
Oleh Luthfi Assyaukanie
Muhammad Ibn Abd al-Wahab lahir di Najd, salah satu kota penting dalam sejarah Hijaz Arab modern, pada tahun 1703. Masa kecilnya dilewati di kota itu. Ia belajar ilmu-ilmu agama dan menyukai kajian-kajian Al-Qur’an dan Hadits. Ia memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Madinah, Mekah, dan beberapa kota penting di Arab Saudi. Dalam usia belajarnya, Ibn Abd al-Wahab juga sempat berkunjung ke beberapa negara di luar Arab Saudi, termasuk ke Iran, di mana dia melihat adanya praktik-praktik keagamaan yang menurutnya kemudian dianggap menyimpang.
Para pengamat pemikiran modern kerap menganggap gerakan fundamentalisme selalu berada pada margin kekuasaan yang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan-kebijakan negara. Anggapan semacam ini tentu keliru jika kita mengaitkannya dengan peran Muhammad Ibn Abd al-Wahab dan para pengikutnya yang terkenal dengan sebutan Wahabiyah. Gerakan ini bukan hanya “bermain” di pusat kekuasaan, tapi juga turut memberikan pengaruh yang luar biasa bagi pembentukan dan perkembangan kerajaan Arab Saudi.
Muhammad Ibn Abd al-Wahab lahir di Najd, salah satu kota penting dalam sejarah Hijaz Arab modern, pada tahun 1703. Masa kecilnya dilewati di kota itu. Ia belajar ilmu-ilmu agama dan menyukai kajian-kajian Al-Qur’an dan Hadits. Ia memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Madinah, Mekah, dan beberapa kota penting di Arab Saudi. Dalam usia belajarnya, Ibn Abd al-Wahab juga sempat berkunjung ke beberapa negara di luar Arab Saudi, termasuk ke Iran, di mana dia melihat adanya praktik-praktik keagamaan yang menurutnya kemudian dianggap menyimpang.
Kecintaannya pada Al-Qur’an dan Hadits mendorongnya untuk menghidupkan dua sumber utama Islam ini dan mengaplikasikannya dalam kehidupan modern kaum Muslim. Iapun kemudian memperkenalkan jargon “kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.” Ia berpendapat, selama inti dari ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits, maka seruan pemurnian ajaran keagamaan Islam harus dilandasi dengan dua kitab utama kaum Muslim ini. Abd al-Wahab tak sekadar mengajak kaum Muslim kembali kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan juga Hadits, tapi menganjurkan mereka melawan dan memusnahkan praktik-praktik yang dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam dua kitab utama itu.
Abd al-Wahab adalah seorang yang pandai berbicara dan menulis. Selain memberikan cermah-ceramah keagamaan kepada para pengikutnya, ia juga menulis banyak buku. Di antaranya Kitab al-Tauhid yang menjadi rujukan utama bagi para murid dan pengikutnya, Al-Ushul al-Tsalatsah wa al-Qawa’id al-Arba’ah, Tafsir al-Fatihah, Tafsir Kalimat al-Tauhid, dan Nasihat al-Muslimin.
Karya-karya Abd al-Wahab memiliki nuansa teologis (‘ilm tauhid) yang kental. Karenanya, banyak orang yang menganggapnya lebih sebagai seorang teolog ketimbang seorang faqih (ahli fikih) atau mufassir (ahli tafsir), kendati ia juga menulis beberapa buku fikih dan tafsir. Hal ini berkaitan dengan sikap dan semangat Abd al-Wahab untuk memurnikan ajaran-ajaran Islam. Dan menurutnya, pemurnian Islam tak akan bisa terlaksana selama persoalan-persoalan aqidah mereka masih tercemari.
Purifikasi Ajaran Islam. Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan penganut paham Hanbali, Abd al-Wahab adalah seorang yang puritan dalam hal praktik keagamaan. Sama seperti Ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali) sendiri dan juga pengikut-pengikutnya kemudian (seperti Ibn Taymiyyah dan Ibn Al-QayyimAl-Jauziyyah), Abd Al-Wahhab bersikap tegas kepada lingkungannya yang dianggap menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Dengan modal fikih mazhab Hanbali yang dikenal tegas (untuk tidak mengatakan kaku), dan sikap teologis model Ibn Taymiyyah yang keras, Abd al-Wahab bertekad memerangi segala bentuk kebida’han dalam beribadah dan kemusyrikan dalam beraqidah.
Sikap tegasnya terhadap berbagai bentuk kemusyrikan didorong oleh adanya fakta semakin meruyaknya praktik-praktik keagamaan yang menyimpang. Di pusat-pusat keagamaan seperti Makkah dan Madinah, Abd al-Wahab melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana praktik-praktik keagamaan itu sudah kelewatan. Seperti pengangung-agungan berlebihan terhadap kuburan Nabi dan para sahabatnya. Momen ziarah yang sering digunakan kaum Muslim di dua kota suci itu, menurut Abd al-Wahab, telah menjadi ajang praktik kemusyrikan dan kemaksiatan atas nama ibadah.
Ibn Abd al-Wahab sendiri tidak pernah menyuruh murid-muridnya untuk membongkar nisan-nisan kuburan para sahabat atau simbol-simbol keagamaan lainnya di tempat-tempat suci di Hijaz. Tapi para pengikutnya, khususnya setelah kerajaan Arab Saudi berdiri dan mengadopsi ajaran-ajaran Abd al-Wahab, mengambil langkah radikal dalam membersihkan praktik-praktik keagamaan masyarakat Hijaz saat itu. Mereka bukan hanya membersihkan keyakinan dan cara berpikir kebanyakan kaum Muslim di wilayah Hijaz itu. Tapi juga membersihkan tempat-tempat dan simbol-simbol keagamaan yang selama itu diagungkan, termasuk nisan-nisan kuburan para sahabat dan orang-orang suci di Madinah.
Sikapnya yang tegas terhadap praktik-praktik keagamaan yang menyimpang, khususnya praktik-praktik berbau musyrik, membuat Abd al-Wahab tidak menoleransi kaum sufi yang menurutnya sebagai sumber meluasnya praktik-praktik kemusyrikan. Sikap antagonistik terhadap sufi dan tasawuf sebetulnya tak hanya bersumber dari pengalaman pribadi Abd al-Wahab sendiri, khususnya ketika ia berkunjung ke beberapa kota di Irak dan Iran di mana ia menjumpai banyak penganut sufi dan Syi’ah yang melakukan praktik ibadat dan pemujaan di kuburan tokoh-tokoh agama. Tapi, sikap semacam itu adalah warisan aseli Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, dua tokoh Hanbali yang sangat mempengaruhi cara dan sikap berpikir Abd al-Wahab.
Abd al-Wahab tak hanya menolak praktik-praktik yang dilakukan sebagian besar kaum Sufi, khususnya menyangkut keyakinan terhadap wasilah (perantara), tapi juga menolak seluruh struktur ajaran sufi dan menganggapnya sebagai bagian dari bid’ah dan syirik. Penolakan ini adalah konsekwensi logis dari sikap teologis Abd al-Wahab yang tegas terhadap doktrin tawhid (pengesaan Allah), bahwa keyakinan terhadap keesaan Allah tidak seharusnya dikotori dengan praktik-praktik yang membawa kemusyrikan, kendati praktik-praktik itu berbau keagamaan. Satu-satunya hal yang diakui baik dari ajaran sufi adalah sikap penyucian diri. Tapi, menurut Abd al-Wahab, orang tak perlu menjadi sufi kalau hanya untuk melakukan pembersihan diri (Al-Uthaymayn. tt, hal. 125).
Salah satu praktik yang yang dibenci Abd al-Wahab adalah praktik wasilah dan kepatuhan yang berlebihan terhadap tokoh-tokoh agama yang dianggap suci. Praktik ini, menurut Abd al-Wahab, selain tidak memiliki dasar perintah yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits, praktik semacam itu juga merugikan umat Islam. Salah satu dampaknya adalah meluasnya sikap taqlid (pengikutan secara membabibuta) di kalangan umat Islam. Sikap taqlid, menurut Abd al-Wahab, adalah salah satu penyebab kemunduran kaum Muslim modern. Kendati tidak menganjurkan perlunya setiap orang menjadi mujtahid (pembaru fikih), inspirator negara Arab Saudi itu menganjurkan kaum Muslim agar independen dan tidak bergantung kepada pendapat orang lain.
Abd al-Wahab juga mengkritik para ulama dan kaum Muslim yang sangat bergantung kepada kitab-kitab klasik dan menganggap seolah-olah kitab-kitab itu sebagai sumber kebenaran yang sama kedudukannya dengan Al-Qur’an atau Hadits. Sikap penerimaan berlebihan terhadap kitab-kitab itu hanya akan menjauhkan umat Islam dari sumber yang seharusnya mereka jadikan acuan utama mereka. Yakni, Al-Qur’an dan Hadits.
Sikap Abd al-Wahab yang mendukung ijtihad dan menolak taqlid menempatkannya sebagai pembaru Islam sejati. Kendati banyak dipengaruhi oleh pemikiran dan karya-karya Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, ia sendiri mengaku tidak kaku dalam mengikuti pendapat dua ulama besar itu. “Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah adalah dua ulama terpandang bagi kaum Sunni, tapi saya tidak mengikuti mereka secara ketat,” akunya dalam bukunya al-Hadyat al-Saniyyah (edited by Sulaiman Bin Sahman). Sayang, sikapnya yang independen serta sangat percaya diri ini tidak diikuti oleh para pengikutnya. Para pengikut Abd al-Wahab yang dikenal sebagai anggota Wahabi cenderung tertutup serta sangat fanatik terhadap pandangan-pandangan gurunya. Dalam beberapa hal, mereka bahkan melakukan praktik taqlid, sesuatu yang dibenci oleh Abd al-Wahab sendiri.
Ajaran-ajaran Abd al-Wahab menyebar secara luas sejak Muhammad Ibn Saud, seorang pemimpin suku di Dariyah, sebuah kawasan di Hijaz Arab, berhasil membangun kekuatan sebagai cikal-bakal negara Arab Saudi pada awal tahun 1800-an. Setelah Ibn Saud menaklukkan Mekah pada tahun 1803, ajaran-ajaran Abd al-Wahab diadopsi sebagai doktrin resmi kerajaan. Hal 1ini terus berlangsung hingga sekarang.
12/01/2004 | Tokoh | #
Komentar
Komentar Masuk (34)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)
Assalaamu ‘alaikum warohmatullaahi wabarokatuh. Sangat ironis apabila Muhammad Ibn Abdul Wahab dikatakan sebagai penyebar bid’ah, padahal yang beribadah tidak sesuai dengan contoh dari rasulullah itulah yang dikatakan bid’ah. Muhammad ibn Abdul Wahab adalah tokoh yang membawa pemurnian Tauhid akan ajaran Islam. Rasulullah bersabda:Sebaik baik perkataan adalah kitabullah (Al Qur’an), sebaik baik arahan adalah arahan Muhammad SAW, dan seburuk buruk perkara adalah yang diada adakan dan setiap yang diada adakan adala bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan ada dalam neraka (HR Bukhori Muslim). Ibadah2 yang dilakukan oleh kaum syi’ah dan kaum sufi serta sempalannya banyak sekali yang tidak didasarkan dari hadist rasulullah SAW, dengan kata lain mereka adalah pelaku bid’ah. Pelaku bid’ah sangat sulit untuk dibawa kepada ajaran tauhid. Coba kalau kita mengajak orang yang sering melakukan tabaruk (meminta berkah) kepada kuburan untuk tidak melakukan itu lagi, pasti mereka marah dan mereka berkeyakinan bahwa meminta kepada kuburan itu adalah benar dan mereka mengeluarkan dalil dengan hadist palsu yang dibuat oleh orang orang yahudi.
Posted by abdullah on 09/17 at 01:51 PM
Assalaamu ‘alaikum warohmatullaahi wabarokatuh
Untuk Sdr Abdullah bin Umar
1.Apa dalilnya bahwa orang Australia itu mendakwa bahwa aliran Wahabi itu indentik dengan teroris? Bukankan pekerjaan terror itu bisa dilakukan oleh siapa saja? Masih ingatkah anda ketika terjadi bentrok Irlandia Utara dengan Inggeris, siapakah yang yang membuat keonaran dengan melakukan teror dan penghancuran gedung2 strategis? Apakah dilakukan oleh orang wahabi? Atau orang Islam?
2. Ketika terjadi perang dunia ke II dimana terjadi perang di Pacific yang melakukan bunuh diri (kamikaze) dengan memasukkan pesawat tempurnya ke cerobong asap kapal induk sekutu itu dilakukan oleh orang Islam?
3.Apakah tawasul kepada orang yang sudah mati, tahlilan 3,7,40,100, 1000 hari setelah kematian, ziarah kubur dengan meminta kepada yang ada dalam kubur, mauludan , isra’ mikraj itu ada dalil (shahih) yang mendukung? Paling paling anda mengambil ayat surat Al Maaidah (5 : 35 ) yang anda takwilkan sendiri tanpa ada penafsiran dari ayat maupun hadist lain yang mendukung.
4.Bukankah tawasul hanya dibolehkan dengan :
a.Nama nama Allah (Asmaul Husna)
b.Amal Ibadah yang ikhlas karena Allah (Lihat hadist Bukhori Muslim yang menceritakan 3 orang yang terkurung di gua) Kitab Riyadhus Sholihin bab Ikhlas.
c.Orang sholeh yang masih hidup, bukan orang sholeh yang sudah mati, ini dilakukan oleh Umar Ibn Khattab RA ketika pada masa kemarau panjang dimana hujan tidak turun. Umar RA pergi ke paman Rasulullah Abbas Ibn Abdul Muthalib RA untuk berdo’a bersamanya agar Allah SWT menurunkan hujan, bukan pergi ke kuburnya Rasulullah SAWminta tolong kepada Rasulullah yang sudah wafat.
5.Tidak ada yang melarang anda tahlilan (malah diperintahkan) tapi jangan dikaitkan tahlilan itu dengan telah meninggalnya seseorang 3 hari, 7 hari dst, kebanyakan kita datang ke tahlilan untuk mendapatkan makanan/amplop, kalau makanannya /amplopnya kurang biasanya hari ke 7 dst akan sepi, bukankan memperingati hari kematian 3,7,40 hari dst merupakan ajaran/ibadah agama lain.
6.Tidak ada yang melarang anda ziarah kubur, malah dianjurkan untuk kita selalu ingat akan mati, yang dilarang anda meminta barokah (tabaruk) kepada orang yang sudah mati, minta tolong kepada orang yang sudah mati dan kita boleh mendo’akan orang yang sudah mati (orang seiman).
7.Tidak ada dalil yang shohih harus merayakan maulud nabi karena Rasulullah SAW tidak pernah melaksanakannya dan tidak ada perintah dari Rasulullah SAW untuk melaksanakannya. Kalau anda mengatakan tidak ada larangan maka rasulullah bersabda : Barang siapa yang melakukan suatu amalan bukan dari urusan / perintah kami, maka amalan itu tertolak (HR Muslim). Tanda bukti kita cinta kepada Rasulullah SAW, hidupkan sunnahnya.
8.Masalah ibadah itu pada dasarnya haram kecuali ada contoh/perintah dari Allah dan rasulNya, kalau masalah mu’amalah pada dasarnya boleh kecuali ada larangan dari Allah dan rasulnya. Apakah contoh mu’amalah yang dilarang? Berdagang dengan mengurangi timbangan, membuat lukisan makhluk yang bernyawa, membuat patung dsb.
Posted by abdullah on 09/17 at 01:21 PM
Brother Mustafa parrots the well-sung Sufi song of anti-Wahhabism. It must be odd to define yourself always in terms of “not like so an so”. Puerile nonsense like this must put many off what might otherwise hold some appeal for someone.
Sufi antipathy to the Wahhabis dates back to the origins of the Wahhabi state in the 1750s and to Abdul Wahhab’s not infrequent denunciations of shirk. These were not directed against the Sufis so much as they were directed against the traditional practices of the Arabs of Nejd, at that time. Many are documented in Kitab al-Tawhid, an interesting document of social history, among other things. Dhu Anwat, the “wishing tree” denounced in the Quran, is one of these practices, as is the divining with bones and other anthropological curiosities.
In terms of political structures, the Wahhabis challenged Sufi notions of loyalty and obedience to the Shaykh, since these mitigated against their own interests of loyalty to the “state”, as constructed as the condominium of the Sultan and the Mufti.
In this, again, we have a traditional Muslim conception of the state from which the Sufis, not the Wahhabis, typically deviate by according power to a religious leader and demanding total obedience to him. If anything, Abdul Wahhab restored the traditional partnership of secular head of government with a representative of the ulema: a structure established by the Rightly Guided caliphs. This had been perverted across the centuries as Muslim rulers gradually eroded the power of the religious leadership.
This is easy to see in modern Saudi Arabia, which consistently fails the Islamist litmus test for an “Islamic state” while simultaneously qualifying as a “theocracy” in West-centered analyses based on a liberal-secularist ideal. On this continuum at least, the Wahhabi state, as represented by Saudi Arabia, is far from either extreme.
Contrary to obsessive Sufi cant, Wahhabis do not declare takfir on the generality of the Muslims. If you read Sufi - Wahhabi polemics, and this has been going on for more than 250 years, you will see who indulges in takfir and who does not. The Wahhabis, and their modern descendants, have been very active militating against this disease, which they always ascribe to khawarij.
Posted by Abumarwan on 09/06 at 09:08 AM
sepertinya yang harus di tulis panjang lebar, kenapa abdurrohman bin abdul wahab yang menjadi icon wahabi tidak tidak setuju dengan perilaku ssebagin umat islam yang musrik. menurut beliau musrik itu apa?, syirik itu apa?, baik dengan dalil nas dan akal, sehingga yang mengomentari juga berdasarkan ilmu yang di pahami masing-masing.
Kita sedang belajar/diskusi sejarah pemikiran tokoh atau pemikiran tokoh itu sendiri?
Posted by ali on 07/23 at 11:22 PM
ass......
islam itu hanya satu, mari kita bersatu, jangan mau dipecah-belah sama orang yang membenci Islam. seharusnya, dalam islam itu hanya ada satu aqidah/ keyakinan yang satu alias sama. jika aqidah sudah sama,berarti satu aqidah. tidak ada istilah islam fundamental, islam radikal, islam liberal, semuanya engga ada. yang ada hanya ummatan wahidatan. dalam sirrah nabawiyah, perpecahan bukan dimjulai/ dilandasi aqidah tetapi masalah politik , mari bersatu ...........................
mari berusaha untuk bersatuuuuuuuuuuuuuuu,
Posted by sudarmanto on 03/25 at 11:18 AM
12/01/2004
Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1791)
Oleh Luthfi Assyaukanie
Muhammad Ibn Abd al-Wahab lahir di Najd, salah satu kota penting dalam sejarah Hijaz Arab modern, pada tahun 1703. Masa kecilnya dilewati di kota itu. Ia belajar ilmu-ilmu agama dan menyukai kajian-kajian Al-Qur’an dan Hadits. Ia memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Madinah, Mekah, dan beberapa kota penting di Arab Saudi. Dalam usia belajarnya, Ibn Abd al-Wahab juga sempat berkunjung ke beberapa negara di luar Arab Saudi, termasuk ke Iran, di mana dia melihat adanya praktik-praktik keagamaan yang menurutnya kemudian dianggap menyimpang.
Para pengamat pemikiran modern kerap menganggap gerakan fundamentalisme selalu berada pada margin kekuasaan yang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan-kebijakan negara. Anggapan semacam ini tentu keliru jika kita mengaitkannya dengan peran Muhammad Ibn Abd al-Wahab dan para pengikutnya yang terkenal dengan sebutan Wahabiyah. Gerakan ini bukan hanya “bermain” di pusat kekuasaan, tapi juga turut memberikan pengaruh yang luar biasa bagi pembentukan dan perkembangan kerajaan Arab Saudi.
Muhammad Ibn Abd al-Wahab lahir di Najd, salah satu kota penting dalam sejarah Hijaz Arab modern, pada tahun 1703. Masa kecilnya dilewati di kota itu. Ia belajar ilmu-ilmu agama dan menyukai kajian-kajian Al-Qur’an dan Hadits. Ia memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Madinah, Mekah, dan beberapa kota penting di Arab Saudi. Dalam usia belajarnya, Ibn Abd al-Wahab juga sempat berkunjung ke beberapa negara di luar Arab Saudi, termasuk ke Iran, di mana dia melihat adanya praktik-praktik keagamaan yang menurutnya kemudian dianggap menyimpang.
Kecintaannya pada Al-Qur’an dan Hadits mendorongnya untuk menghidupkan dua sumber utama Islam ini dan mengaplikasikannya dalam kehidupan modern kaum Muslim. Iapun kemudian memperkenalkan jargon “kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.” Ia berpendapat, selama inti dari ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits, maka seruan pemurnian ajaran keagamaan Islam harus dilandasi dengan dua kitab utama kaum Muslim ini. Abd al-Wahab tak sekadar mengajak kaum Muslim kembali kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan juga Hadits, tapi menganjurkan mereka melawan dan memusnahkan praktik-praktik yang dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam dua kitab utama itu.
Abd al-Wahab adalah seorang yang pandai berbicara dan menulis. Selain memberikan cermah-ceramah keagamaan kepada para pengikutnya, ia juga menulis banyak buku. Di antaranya Kitab al-Tauhid yang menjadi rujukan utama bagi para murid dan pengikutnya, Al-Ushul al-Tsalatsah wa al-Qawa’id al-Arba’ah, Tafsir al-Fatihah, Tafsir Kalimat al-Tauhid, dan Nasihat al-Muslimin.
Karya-karya Abd al-Wahab memiliki nuansa teologis (‘ilm tauhid) yang kental. Karenanya, banyak orang yang menganggapnya lebih sebagai seorang teolog ketimbang seorang faqih (ahli fikih) atau mufassir (ahli tafsir), kendati ia juga menulis beberapa buku fikih dan tafsir. Hal ini berkaitan dengan sikap dan semangat Abd al-Wahab untuk memurnikan ajaran-ajaran Islam. Dan menurutnya, pemurnian Islam tak akan bisa terlaksana selama persoalan-persoalan aqidah mereka masih tercemari.
Purifikasi Ajaran Islam. Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan penganut paham Hanbali, Abd al-Wahab adalah seorang yang puritan dalam hal praktik keagamaan. Sama seperti Ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali) sendiri dan juga pengikut-pengikutnya kemudian (seperti Ibn Taymiyyah dan Ibn Al-QayyimAl-Jauziyyah), Abd Al-Wahhab bersikap tegas kepada lingkungannya yang dianggap menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Dengan modal fikih mazhab Hanbali yang dikenal tegas (untuk tidak mengatakan kaku), dan sikap teologis model Ibn Taymiyyah yang keras, Abd al-Wahab bertekad memerangi segala bentuk kebida’han dalam beribadah dan kemusyrikan dalam beraqidah.
Sikap tegasnya terhadap berbagai bentuk kemusyrikan didorong oleh adanya fakta semakin meruyaknya praktik-praktik keagamaan yang menyimpang. Di pusat-pusat keagamaan seperti Makkah dan Madinah, Abd al-Wahab melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana praktik-praktik keagamaan itu sudah kelewatan. Seperti pengangung-agungan berlebihan terhadap kuburan Nabi dan para sahabatnya. Momen ziarah yang sering digunakan kaum Muslim di dua kota suci itu, menurut Abd al-Wahab, telah menjadi ajang praktik kemusyrikan dan kemaksiatan atas nama ibadah.
Ibn Abd al-Wahab sendiri tidak pernah menyuruh murid-muridnya untuk membongkar nisan-nisan kuburan para sahabat atau simbol-simbol keagamaan lainnya di tempat-tempat suci di Hijaz. Tapi para pengikutnya, khususnya setelah kerajaan Arab Saudi berdiri dan mengadopsi ajaran-ajaran Abd al-Wahab, mengambil langkah radikal dalam membersihkan praktik-praktik keagamaan masyarakat Hijaz saat itu. Mereka bukan hanya membersihkan keyakinan dan cara berpikir kebanyakan kaum Muslim di wilayah Hijaz itu. Tapi juga membersihkan tempat-tempat dan simbol-simbol keagamaan yang selama itu diagungkan, termasuk nisan-nisan kuburan para sahabat dan orang-orang suci di Madinah.
Sikapnya yang tegas terhadap praktik-praktik keagamaan yang menyimpang, khususnya praktik-praktik berbau musyrik, membuat Abd al-Wahab tidak menoleransi kaum sufi yang menurutnya sebagai sumber meluasnya praktik-praktik kemusyrikan. Sikap antagonistik terhadap sufi dan tasawuf sebetulnya tak hanya bersumber dari pengalaman pribadi Abd al-Wahab sendiri, khususnya ketika ia berkunjung ke beberapa kota di Irak dan Iran di mana ia menjumpai banyak penganut sufi dan Syi’ah yang melakukan praktik ibadat dan pemujaan di kuburan tokoh-tokoh agama. Tapi, sikap semacam itu adalah warisan aseli Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, dua tokoh Hanbali yang sangat mempengaruhi cara dan sikap berpikir Abd al-Wahab.
Abd al-Wahab tak hanya menolak praktik-praktik yang dilakukan sebagian besar kaum Sufi, khususnya menyangkut keyakinan terhadap wasilah (perantara), tapi juga menolak seluruh struktur ajaran sufi dan menganggapnya sebagai bagian dari bid’ah dan syirik. Penolakan ini adalah konsekwensi logis dari sikap teologis Abd al-Wahab yang tegas terhadap doktrin tawhid (pengesaan Allah), bahwa keyakinan terhadap keesaan Allah tidak seharusnya dikotori dengan praktik-praktik yang membawa kemusyrikan, kendati praktik-praktik itu berbau keagamaan. Satu-satunya hal yang diakui baik dari ajaran sufi adalah sikap penyucian diri. Tapi, menurut Abd al-Wahab, orang tak perlu menjadi sufi kalau hanya untuk melakukan pembersihan diri (Al-Uthaymayn. tt, hal. 125).
Salah satu praktik yang yang dibenci Abd al-Wahab adalah praktik wasilah dan kepatuhan yang berlebihan terhadap tokoh-tokoh agama yang dianggap suci. Praktik ini, menurut Abd al-Wahab, selain tidak memiliki dasar perintah yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits, praktik semacam itu juga merugikan umat Islam. Salah satu dampaknya adalah meluasnya sikap taqlid (pengikutan secara membabibuta) di kalangan umat Islam. Sikap taqlid, menurut Abd al-Wahab, adalah salah satu penyebab kemunduran kaum Muslim modern. Kendati tidak menganjurkan perlunya setiap orang menjadi mujtahid (pembaru fikih), inspirator negara Arab Saudi itu menganjurkan kaum Muslim agar independen dan tidak bergantung kepada pendapat orang lain.
Abd al-Wahab juga mengkritik para ulama dan kaum Muslim yang sangat bergantung kepada kitab-kitab klasik dan menganggap seolah-olah kitab-kitab itu sebagai sumber kebenaran yang sama kedudukannya dengan Al-Qur’an atau Hadits. Sikap penerimaan berlebihan terhadap kitab-kitab itu hanya akan menjauhkan umat Islam dari sumber yang seharusnya mereka jadikan acuan utama mereka. Yakni, Al-Qur’an dan Hadits.
Sikap Abd al-Wahab yang mendukung ijtihad dan menolak taqlid menempatkannya sebagai pembaru Islam sejati. Kendati banyak dipengaruhi oleh pemikiran dan karya-karya Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, ia sendiri mengaku tidak kaku dalam mengikuti pendapat dua ulama besar itu. “Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah adalah dua ulama terpandang bagi kaum Sunni, tapi saya tidak mengikuti mereka secara ketat,” akunya dalam bukunya al-Hadyat al-Saniyyah (edited by Sulaiman Bin Sahman). Sayang, sikapnya yang independen serta sangat percaya diri ini tidak diikuti oleh para pengikutnya. Para pengikut Abd al-Wahab yang dikenal sebagai anggota Wahabi cenderung tertutup serta sangat fanatik terhadap pandangan-pandangan gurunya. Dalam beberapa hal, mereka bahkan melakukan praktik taqlid, sesuatu yang dibenci oleh Abd al-Wahab sendiri.
Ajaran-ajaran Abd al-Wahab menyebar secara luas sejak Muhammad Ibn Saud, seorang pemimpin suku di Dariyah, sebuah kawasan di Hijaz Arab, berhasil membangun kekuatan sebagai cikal-bakal negara Arab Saudi pada awal tahun 1800-an. Setelah Ibn Saud menaklukkan Mekah pada tahun 1803, ajaran-ajaran Abd al-Wahab diadopsi sebagai doktrin resmi kerajaan. Hal 1ini terus berlangsung hingga sekarang.
12/01/2004 | Tokoh | #
Komentar
Komentar Masuk (34)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)
Assalaamu ‘alaikum warohmatullaahi wabarokatuh. Sangat ironis apabila Muhammad Ibn Abdul Wahab dikatakan sebagai penyebar bid’ah, padahal yang beribadah tidak sesuai dengan contoh dari rasulullah itulah yang dikatakan bid’ah. Muhammad ibn Abdul Wahab adalah tokoh yang membawa pemurnian Tauhid akan ajaran Islam. Rasulullah bersabda:Sebaik baik perkataan adalah kitabullah (Al Qur’an), sebaik baik arahan adalah arahan Muhammad SAW, dan seburuk buruk perkara adalah yang diada adakan dan setiap yang diada adakan adala bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan ada dalam neraka (HR Bukhori Muslim). Ibadah2 yang dilakukan oleh kaum syi’ah dan kaum sufi serta sempalannya banyak sekali yang tidak didasarkan dari hadist rasulullah SAW, dengan kata lain mereka adalah pelaku bid’ah. Pelaku bid’ah sangat sulit untuk dibawa kepada ajaran tauhid. Coba kalau kita mengajak orang yang sering melakukan tabaruk (meminta berkah) kepada kuburan untuk tidak melakukan itu lagi, pasti mereka marah dan mereka berkeyakinan bahwa meminta kepada kuburan itu adalah benar dan mereka mengeluarkan dalil dengan hadist palsu yang dibuat oleh orang orang yahudi.
Posted by abdullah on 09/17 at 01:51 PM
Assalaamu ‘alaikum warohmatullaahi wabarokatuh
Untuk Sdr Abdullah bin Umar
1.Apa dalilnya bahwa orang Australia itu mendakwa bahwa aliran Wahabi itu indentik dengan teroris? Bukankan pekerjaan terror itu bisa dilakukan oleh siapa saja? Masih ingatkah anda ketika terjadi bentrok Irlandia Utara dengan Inggeris, siapakah yang yang membuat keonaran dengan melakukan teror dan penghancuran gedung2 strategis? Apakah dilakukan oleh orang wahabi? Atau orang Islam?
2. Ketika terjadi perang dunia ke II dimana terjadi perang di Pacific yang melakukan bunuh diri (kamikaze) dengan memasukkan pesawat tempurnya ke cerobong asap kapal induk sekutu itu dilakukan oleh orang Islam?
3.Apakah tawasul kepada orang yang sudah mati, tahlilan 3,7,40,100, 1000 hari setelah kematian, ziarah kubur dengan meminta kepada yang ada dalam kubur, mauludan , isra’ mikraj itu ada dalil (shahih) yang mendukung? Paling paling anda mengambil ayat surat Al Maaidah (5 : 35 ) yang anda takwilkan sendiri tanpa ada penafsiran dari ayat maupun hadist lain yang mendukung.
4.Bukankah tawasul hanya dibolehkan dengan :
a.Nama nama Allah (Asmaul Husna)
b.Amal Ibadah yang ikhlas karena Allah (Lihat hadist Bukhori Muslim yang menceritakan 3 orang yang terkurung di gua) Kitab Riyadhus Sholihin bab Ikhlas.
c.Orang sholeh yang masih hidup, bukan orang sholeh yang sudah mati, ini dilakukan oleh Umar Ibn Khattab RA ketika pada masa kemarau panjang dimana hujan tidak turun. Umar RA pergi ke paman Rasulullah Abbas Ibn Abdul Muthalib RA untuk berdo’a bersamanya agar Allah SWT menurunkan hujan, bukan pergi ke kuburnya Rasulullah SAWminta tolong kepada Rasulullah yang sudah wafat.
5.Tidak ada yang melarang anda tahlilan (malah diperintahkan) tapi jangan dikaitkan tahlilan itu dengan telah meninggalnya seseorang 3 hari, 7 hari dst, kebanyakan kita datang ke tahlilan untuk mendapatkan makanan/amplop, kalau makanannya /amplopnya kurang biasanya hari ke 7 dst akan sepi, bukankan memperingati hari kematian 3,7,40 hari dst merupakan ajaran/ibadah agama lain.
6.Tidak ada yang melarang anda ziarah kubur, malah dianjurkan untuk kita selalu ingat akan mati, yang dilarang anda meminta barokah (tabaruk) kepada orang yang sudah mati, minta tolong kepada orang yang sudah mati dan kita boleh mendo’akan orang yang sudah mati (orang seiman).
7.Tidak ada dalil yang shohih harus merayakan maulud nabi karena Rasulullah SAW tidak pernah melaksanakannya dan tidak ada perintah dari Rasulullah SAW untuk melaksanakannya. Kalau anda mengatakan tidak ada larangan maka rasulullah bersabda : Barang siapa yang melakukan suatu amalan bukan dari urusan / perintah kami, maka amalan itu tertolak (HR Muslim). Tanda bukti kita cinta kepada Rasulullah SAW, hidupkan sunnahnya.
8.Masalah ibadah itu pada dasarnya haram kecuali ada contoh/perintah dari Allah dan rasulNya, kalau masalah mu’amalah pada dasarnya boleh kecuali ada larangan dari Allah dan rasulnya. Apakah contoh mu’amalah yang dilarang? Berdagang dengan mengurangi timbangan, membuat lukisan makhluk yang bernyawa, membuat patung dsb.
Posted by abdullah on 09/17 at 01:21 PM
Brother Mustafa parrots the well-sung Sufi song of anti-Wahhabism. It must be odd to define yourself always in terms of “not like so an so”. Puerile nonsense like this must put many off what might otherwise hold some appeal for someone.
Sufi antipathy to the Wahhabis dates back to the origins of the Wahhabi state in the 1750s and to Abdul Wahhab’s not infrequent denunciations of shirk. These were not directed against the Sufis so much as they were directed against the traditional practices of the Arabs of Nejd, at that time. Many are documented in Kitab al-Tawhid, an interesting document of social history, among other things. Dhu Anwat, the “wishing tree” denounced in the Quran, is one of these practices, as is the divining with bones and other anthropological curiosities.
In terms of political structures, the Wahhabis challenged Sufi notions of loyalty and obedience to the Shaykh, since these mitigated against their own interests of loyalty to the “state”, as constructed as the condominium of the Sultan and the Mufti.
In this, again, we have a traditional Muslim conception of the state from which the Sufis, not the Wahhabis, typically deviate by according power to a religious leader and demanding total obedience to him. If anything, Abdul Wahhab restored the traditional partnership of secular head of government with a representative of the ulema: a structure established by the Rightly Guided caliphs. This had been perverted across the centuries as Muslim rulers gradually eroded the power of the religious leadership.
This is easy to see in modern Saudi Arabia, which consistently fails the Islamist litmus test for an “Islamic state” while simultaneously qualifying as a “theocracy” in West-centered analyses based on a liberal-secularist ideal. On this continuum at least, the Wahhabi state, as represented by Saudi Arabia, is far from either extreme.
Contrary to obsessive Sufi cant, Wahhabis do not declare takfir on the generality of the Muslims. If you read Sufi - Wahhabi polemics, and this has been going on for more than 250 years, you will see who indulges in takfir and who does not. The Wahhabis, and their modern descendants, have been very active militating against this disease, which they always ascribe to khawarij.
Posted by Abumarwan on 09/06 at 09:08 AM
sepertinya yang harus di tulis panjang lebar, kenapa abdurrohman bin abdul wahab yang menjadi icon wahabi tidak tidak setuju dengan perilaku ssebagin umat islam yang musrik. menurut beliau musrik itu apa?, syirik itu apa?, baik dengan dalil nas dan akal, sehingga yang mengomentari juga berdasarkan ilmu yang di pahami masing-masing.
Kita sedang belajar/diskusi sejarah pemikiran tokoh atau pemikiran tokoh itu sendiri?
Posted by ali on 07/23 at 11:22 PM
ass......
islam itu hanya satu, mari kita bersatu, jangan mau dipecah-belah sama orang yang membenci Islam. seharusnya, dalam islam itu hanya ada satu aqidah/ keyakinan yang satu alias sama. jika aqidah sudah sama,berarti satu aqidah. tidak ada istilah islam fundamental, islam radikal, islam liberal, semuanya engga ada. yang ada hanya ummatan wahidatan. dalam sirrah nabawiyah, perpecahan bukan dimjulai/ dilandasi aqidah tetapi masalah politik , mari bersatu ...........................
mari berusaha untuk bersatuuuuuuuuuuuuuuu,
Posted by sudarmanto on 03/25 at 11:18 AM
0 Tanggapan:
Posting Komentar