SELAMAT DATANG
Selamat datanf di lapak MAKRIFATBUSINESS untuk order bisa melalui marketipace Shopee Tokopedia Bukalapak Lazada dengan nama lapak makrifatbusiness atau order via WA 08123489038 email : imronpribadi1972@gmail.com

Cari Disini

Translate


Rabu, 25 Januari 2012

Sains Untuk Mencapai Pengetahuan MAKRIFATULLAH

sumber artikel http://shuhmy.multiply.com
Mungkin Anda bertanya-tanya, adakah manusia yang beranjak dari sains bisa mencapai “Pengetahuan Makrifat” seperti yang digambarkan di atas? Saya katakan banyak. Berikut ini akan saya uraikan beberapa contoh sebagai suatu ilustrasi.
Banyak saintis yang religius menjadi peletak dasar dari sains klasik dan modern.Isaac Newton, misalnya merupakan sosok yang religius [115]. Dan dengan sadar sebenarnya ia sudah menduga apa dampak dari penemuan-penemuannya yang menyebabkan alam semesta dipandang secara mekanistik dari sudut pandang hukum-hukum yang ia rumuskan. Namun, sebagai manusia spiritual ia juga menyadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan bagian dari takdir Tuhan.
Ketika pengetahuan yang disampaikannya menimbulkan kegoncangan-kegoncangan peradaban baik yang baik atau pun buruk, Newton mesti berserah diri bahwa itu merupakan bagian dari rencana-rencana Tuhan. Demikian juga Albert Enstein yang merumuskan kesetaraan materi dengan energi. Ketika kemudian apa yang disampaikannya mampu memusnahkan puluhan ribu manusia dengan sekali tepuk, ia menyampaikan penyesalannya yang mendalam dengan mengirimkan suratnya yang terkenal kepada presiden AS untuk menghentikan aktivitas penelitian nuklir untuk tujuan-tujuan perang. Didalam tulisannya “Out Of My Later Years”, Einstein berkata mengenai tata-hubungan antara sains dan agama [11]:
Meskipun agama dan ilmu berbeda, namun keduanya mempunyai hubungan timbal balik yang kuat. Agama yang menentukan tujuan, tetapi agama telah belajar dari ilmu, dalam arti yang seluas-luasnya, sarana-sarana apa yang dapat membantu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya. Sebaliknya ilmu hanya dapat diciptakan oleh orang yang jiwanya penuh dengan keinginan untuk mencapai kebenaran dan pengertian; dan sumber perasaan ini memancar dari bidang agama. Pada bidang ini termasuk juga kepercayaan akan kemungkinan, bahwa hukum-hukum yang berlaku bagi kehidupan duniawi adalah rasional, yaitu dapat ditangkap akal. Saya tidak membayangkan kalau ada sarjana yang tidak mempunyai kepercayaan. Kedudukannya dapat dinyatakan dengan kiasan: Ilmu tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu buta.
Sebaliknya, banyak juga saintis yang tidak mampu mencapai pengetahuan makrifat, bahkan mengelak dari kenyataan-kenyataan yang menakutkannya sebagai manusia yang melulu bersandar kepada akal. Dengan kata lain, sisi egoisnya sebagai manusia malah semakin mengingkari kebenaran-kebenaran puncak yang telah diungkapkannya sebagai saintis. Memang sungguh ironis dan kontradiktif, disatu sisi seorang saintis yang meragukan keberadaan Tuhan Pencipta Alam dengan mengagungkan akalnya, disisi lain ia bisa mengabaikan apa yang dikatakan akalnya sendiri. Bagi ilmuwan yang ateis, yang hanya mengandalkan akalnya, Realitas Kuantum yang dibuktikannya menjadi sangat berat, karena dia harus memundurkan akalnya dan menggunakan sisi esoterisnya yaitu qolbu. Namun, seperti kebiasaan mereka yang berfikir dengan landasan filsafat materialisme-ateisme dan yang sejenisnya, biasanya penyelesaian yang dilakukan adalah melakukan pemikiran yang terdistorsi, mengelak dari tuntutan alamiahnya dan membelokkan akalnya ke jalur filsafat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Teori Kuantum akhirnya bersinggungan dengan metafisika manakala upaya-upaya untuk lebih jauh menjawab pertanyaan ontologis dilakukan. Suatu hal yang nampaknya ditakuti oleh Niels Bohr yang ateis dan umumnya ditemui pada para fisikawan yang non-religius. Menjelang akhir hayatnya, Niels Bohr yang ateis diketahui banyak membahas masalah-masalah filsafat positivisme meskipun banyak orang yang berpendapat bahwa hasil-hasil pemikiran filosofisnya tidak secemerlang hasil pencapaiannya di dunia fisika modern. Bahkan beberapa pengamat cenderung berpendapat bahwa Niels Bohr sebenarnya seorang realis yang moderat ketimbang seorang positivis sejati [113].
Uraian diatas menggambarkan bagaimana suatu proses pencarian tentang kebenaran, melalui jalur penalaran ilmiah yang berlangsung selama masa awal perkembangan fisika modern, menimbulkan berbagai diskursus yang sebenarnya sangat nyata bersinggungan atau malah mulai merambah aspek-aspek religius yang (sebenarnya kalau mau memundurkan akalnya) pada akhirnya dapat membawa beberapa saintis kepada Pengetahuan Makrifat. Pengetahuan makrifat yang diperoleh beberapa saintis semakin menyadarkan dirinya akan keterbatasan manusia dan Kemahakuasaan Tuhan. Disisi lain pengetahuan makrifat saintis yang tidak utuh malah semakin memurukkannya kedalam nestapa manusia modern yaitu menafikan akan fakta-fakta yang diungkapkan akalnya.
Lantas, adakah contoh nyata dari rendahnya “Pengetahuan Makrifat” ini di dalam masyarakat kita dewasa ini? Ternyata jauh lebih banyak dari yang kita kira meskipun selama ini kita dengan bangga selalu mengklaim sebagai bangsa beragama.
Contoh yang nyata, dan mungkin tidak disadari banyak orang kecuali beberapa orang yang memang sangat concern dengan perkembangan bangsa ini, terpampang setiap hari di media televisi kita. Belum lama ini, dunia hiburan khususnya pertelevisian di Indonesia banyak dipertanyakan oleh masyarakat sehubungan dengan tayangan-tayangannya yang menonjolkan erotisme, pornografi, mistik, dan kekerasan secara berlebih-lebihan. Meskipun unsur-unsur tersebut sebenarnya sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakatIndonesia, namun sebelumnya masih berada dalam suatu wilayah yang sifatnya pribadi dan terbatas. Misalnya dalam lingkup tempat-tempat hiburan yang tertutup atau terlokalisir di suatu wilayah tertentu dan merupakan suatu produk hiburan lokal. Sebagai contoh, goyang dombret dari kawasan pantura Jawa Barat, bursa seks di Gunung Kemukus Jawa Tengah, perilaku seks bebas di kalangan tertentu di kota-kota besar, perdukunan dan paranormal, perkelahian antara kampung, kriminalitas, dan lain sebagainya. Semuanya itu merupakan produk lokal. Tetapi, ketika dunia hiburan mengemas lokalitas tersebut menjadi suatu komoditas hiburan yang mampu dijual, tanpa mengindahkan dampak maupun ekses-eksesnya, ceritanya menjadi lain.
Lokalitas itupun menjadi suatu globalitas yang menyesakkan karena dapat ditangkap oleh semua mata yang melotot dari segala usia dan status sosial. Protes pun muncul dari beberapa kalangan dan akhirnya memacu munculnya protes-protes lainnya. Namun nampaknya reaksi yang muncul masih dianggap angin lalu saja. Bahkan oleh beberapa kalangan yang mendukung, protes kelompok yang “kontra” itu dihadapi dengan dengan berlindung dibalik jargon “kreativitas berkesenian”, “kebebasan pers”, dan “kebebasan berekspresi”. Padahal, kemasan acara-acara tersebut sebenarnya sebagian besar bukan dari hasil suatu kreativitas orisinal. Namun merupakan hasil contekkan dari acara-acara sejenis yang ternyata sukses di televisi-televisi Amerika. Lebih lucu lagi, ketika contekkan itu membawa hoki bagi suatu stasiun TV, acara yang serupa dicontek lagi oleh stasiun TV lainnya. Jadilah stasiun-stasiun TV swasta diIndonesia itu mempunyai isi yang serupa tapi judulnya tak sama. Tidak ada unsur kreativitas disini, yang ada adalah jual beli komoditas dari oknum yang bermentalitas follower. Namanya juga hasil contekkan, tidak ada informasi yang pasti bagaimana sebenarnya dampak sosial-budaya-agama dari tayangan-tayangan semacam itu di dalam suatu masyarakat yang gelagapan dihantam gelombang peradaban.
Tentunya dunia hiburan dan media massa televisi pantas ditegur karena menyajikan tontonan yang semestinya tetap di ruang “private”. Sulit dibayangkan bagaimana jadinya Bangsa Indonesia ini kalau tiba-tiba adegan dan praktek prostitusi terselubung seperti di “Gunung Kemukus” digelar sebagai bagian dari acara di TV-TV keluarga dengan alasan “kebebasan berekspresi”, padahal itu semua tak lebih dari “kebablasan berekspresi”. Media televisi khususnya, yang memiliki jangkauan nasional dan sulit dicegah, semestinya memiliki aturan-aturan yang jelas berkaitan dengan aturan penyiaran. Percuma saja stasiun televisi kita membayar mahal orang-orang yang secara nalar logis “pintar jualan” namun memiliki “pengetahuan makrifat” yang “bodoh” karena tidak mampu menciptakan dan menerapkan aturan penyiaran yang dapat membangun bangsa dan negara ini menjadi lebih baik lagi. Pintar namun enggan untuk menerapkan makna dan nilai-nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang dikarunia akal sempurna dan berbeda dengan binatang. Pintar namun penakut untuk melawan kepentingan yang kapitalistik demi cuma sekedar takut dipecat dan kelaparan. Inilah beberapa contoh gambaran rendahnya “Pengetahuan Makrifat” dari suatu Bangsa yang ironisnya sebagian besar mengaku beragama.
Begitulah, “Pengetahuan Makrifat” para jenius pengetahuan rasional sebagian utuh dan sebagian lainnya tidak utuh karena tidak disertai dengan “Pengetahuan Qolbu”. Pada akhirnya, apa yang telah dicapai oleh para ilmuwan maupun para profesional itu berkembang menjadi suatu skema peradaban yang menyusun pola pikiran manusia. Etika yang ada pun, yang banyak dikatakan sebagai dasar moralitas para ilmuwan, teknokrat, birokrat, dan profesional pada akhirnya malah tidak mampu untuk mencegah kekeringan dari pemaknaan, pengertian, dan kebenaran absolut. Bahkan etika barat, yang banyak diadopsi di Indonesianamun tanpa verifikasi, sepertinya menjadi alasan bagi peradaban yang dikembangkan oleh Barat, dan kemudian dikintili (diikuti, bhs. jawa) oleh kita tanpa suatu pengertian dan pemikiran yang mendalam, untuk menarik batas yang tegas dengan nilai-nilai spiritual yang diyakininya. Pada akhirnya, etika pun cuma memberikan kesanggupan kepada manusia untuk menegakkan peraturan-peraturan mereka sendiri mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh dipikirkan dan dilakukan. Dengan kata lain dibuat dan ada, tapi boleh juga dilanggar. Suatu kesalahan fatal yang baru belakangan ini disadari oleh banyak orang.
Bagi Pribadi Muslim, yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari suatu peradaban dengan ciri Masyarakat Muslim, sudah selayaknya dituntut untuk merujukkan kembali semua aktivitasnya di dunia sebagai bagian dari ibadah dan fitrahnya. Dalam arti, apapun profesi serta aktivitas seorang Muslim, melongok kembali kepada diri sendiri dengan menghidupkan kembali nilai-nilai keagamaan yang mungkin telah dilupakan atau telah mengalami pengeringan makna, merupakan suatu langkah awal untuk membangkitkan kembali Kecerdasan Spiritual-nya. Bahkan, dengan niat yang teguh (istiqamah) membangkitkan Kecerdasan Spiritual menjadi suatu keharusan agar kehidupan yang dibangun tidak sekedar untuk memenuhi isi perut, tetapi penuh makna dan mampu mengantarkannya kepada Allah SWT dengan penuh keridhaan dan ridhaNya.
Perlu diingat bahwa bagi seorang Muslim Kecerdasan Spiritual sejatinya merupakan manifestasi puncak dari keimanannya sebagai abdi Tuhan, sebagai hamba Allah. Oleh karena itu, Kecerdasaran Spiritual tanpa adanya keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa cuma sekedar fatamorgana; suatu bayang-bayang semu yang diciptakan untuk menentramkan diri dari bercak-bercak materi yang sudah menjadi tuhan-tuhan kecil di hati. Kecerdasan Spiritual tanpa Tuhan dan agama sama lumpuhnya dengan pengetahuan tanpa agama, karena Kecerdasan Spiritual seperti itu cuma sekedar menjadi pengetahuan manusia belaka. Ia tidak lebih dari gharur (artinya sesuatu yang mengelabui; adakalanya digunakan untuk menyebutkan setan, disebabkan karena ia penipu ulung).
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 Tanggapan:

Posting Komentar

Item Reviewed: Sains Untuk Mencapai Pengetahuan MAKRIFATULLAH Rating: 5 Reviewed By: M Imron Pribadi